Sistem Ekonomi Indonesia: Pembenahan Perpajakan
PEMBENAHAN PERPAJAKAN
A.
Kebutuhan Sumber Dana yang Kian Mendesak
Penanganan sama artinya dengan
pendanaan. Tanpa dana, semua masalah akan terbengkalai, dan semua analisis akan
menjadi omong kosong. Untuk mengatasi sebuah persoalan dibutuhkan sebuah langkah
riil. Yaitu
1. Mengoptimalkan
segenap sumber daya pendanaan yang sudah ada
2. Meningkatkan
semua sumber yang berpotensi mendatangkan pemasukan bagi negara untuk membiayai
penyelesaian semua masalah yang dihadapi bangsa kita ini.
Governance, publik
maupun bisnis, harus diusahakan membaik secara bersamaan agar seluruh jajaran
aparat Negara (mulai dari birokrasi pemerintah, lembaga legislative dan lembaga
peradilan) dapat bersama-sama, bergotong royong, mengatasi masalah demi masalah
sesuai dengan bidang tugas masing-masing. Pemberantasan korupsi harus
dilaksanakan terus demi mendukung penajaman efisiensi pemanfaatan keuangan
Negara.
Untuk
mengatasi sebuah persoalan, misalnya tentang infrastruktur fisik keras (jalan
raya, saluran irigasi, dan jarinagan rel kereta api), seluruh dana dalam satu
atau beberapa APBN saja tidak akan cukup. Demi memperbaiki pendidikan saja,
berbagai pos pengeluaran yang juga penting harus dikorbankan. Padahal, gaji 4
juta pegawai negeri harus dibayar, belanja militer harus tetap dipaksakan
alokasinya agar kapal-kapal asing tidak seenaknya masuk ke wilayah kita dan
seenaknya mengklaim sebagai warisan nenek moyangnya. Berbagai subsidi juga
harus dibayar terus agar kota-kota besar tidak menjadi lautan demonstran.
Maka
dari itu kita harus berusaha meningkatkan sumber ddana secara bertahap, sedikit
demi sedikit namun pasti. Seluruh komponen bangsa harus terlibat dalam upaya
besar ini, namun analisis selanjutnya akan ditekankan pada sector publik
mengingat kedudukan sentral Negara, khususnya pemerintah atau lembaga
eksekutif, sebagai mesin utama pembangunan nasional. dalam hal ini yan paling
berpengaruh adalah pajak, BUMN, potensi daerah.
B.
Hakikat Pajak Sebagai Sumber Pendapatan Negara
Semakin maju suatu
Negara, semakin besar pula peran pajaknya, karena Negara maju kian membatasi
diri dari peran sebagai pemain langsung dalam perekonomian melaui BUMN, BUMD,
dan sebagainya. Sesungguhnya pajak bukanlah sebuah beban, melainkan adalah
sebuah tanggung jawab alamiah. Semakin besar peran pajak, semakin besar pula
kekuatan moral dan pengaruh rakyat secara keseluruhan sebagai pembayar pajak.
Di negara-negara yang aneka
pengeluarannya (belanja) publik sepenuhnya dibiayai pajak, rakyatlah yang
sepenuhnya menjadi pemilik negara dan atasan langsung bagi siapa saja yang
tengah memerintah dan berkuasa, baik lembaga eksekutif, legislative, maupun
yudikatif. Dan rakyatlah yang akan berusaha mengejawantahkannya dalam bentuk
control social yang ketat terhadap pemerintah. Dengan demikian, pajak
sesungguhnya bukan semata urusan uang atau ekonomi, namun pajak secara langsung
juga merupakan bagian penting dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
1.
Pajak
di Mancanegara dan di Indonesia
Negara-negara yang dikenal unggul
dalam berbagai indicator pembangunan manusia maupun fisik ternyata rata-rata
juga memiliki rasio pajak (tax ratio),
yakni nilai penerimaan pajak (pusat/nasional) dibandingkan terhadap nilai GDP
(PDB) negara yang bersangkutan, yang relative tinggi. Rasio pajak tertinggi
juga ada di kelompok negara maju yang tergabung dalam OECD, khususnya
negara-negara Skandinavia. Kebanyakan negara Eropa memang sangat mengandalkan
pendapatan pajak (mendekati 100 persen), baik yang sudah benar-benar maju
maupun yang baru menapaki kemajuan, seperti negara-negara di Eropa Timur,
maupun negara bekas wilayah Uni Soviet seperti Estonia dan Latvia. Pengalaman
sulitnya negara atau pemerintah mengelola langsung perusahaan seperti yang
lazim terjadi di negara sentralistik di era Uni Soviet mendorong negara-negara
tersebut untuk menjauhi pengelolaan bisnis secara langsung dan memusatkan
perhatian pada pembenahan pajak sebagai sumber pendapatan negara.
Rasio pajak di negara Indonesia
relative sangat rendah, karena masih begitu sedikit penduduk Indonesia yang
membayarkan pajak penghasilannya secara rutin dan jujur. Di satu sisi, pajak
rendah adalah berita gembira karena kekayaan dan penghasilan kita tak terlalu
tergerogoti oleh pajak. Namun di sisi lain, hal itu juga merupakan berita buruk
karena itu berarti sumber pendapatan rutin pemerintah/negara pun terbatas, atau
sekurang-kurangnya penghasilan riil pajak lebih kecil daripada potensinya.
Kenaikan rasio pajak diharapkan
terwujut di tahun 2008. Patokan atau target yang dipasang pemerintah adalah
13,6 persen, yang tentu merupakan kenaikan signifikan kalau dibandingkan dengan
rasio pajak 2007 yang hanya 12,4 persen. Sampai pada awal kuartal keempat 2008,
rasio penerimaan pajak terhadap produk domestic bruto di Indonesia baru
mencapai 13,5 persen dengan penerimaan sekitar Rp. 600 triliun. Terjadinya
krisis keuangan global dipenghujung bulan September 2008 diyakini akan member
dampak negative pula sehingga ada kemungkinan patokan 13,6 persen tak akan
tercapai, meskipun diyakini akan tetap di atas 13 persen ini pun sudah meupakan
peningkatan signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sebelum terjadi
krisis financial yang bermula dari ambruknya system keuangan di Amerika Serikat
itu, target rasio pajak dalam RAPBN 2009 adalah 13,7 persen, bahkan pada
awalnya dipatok 14,1 persen. Bisa jadi target ini pun akan dikoreksi mengingat
dampak krisis keuangan global tersebut.
2.
Perkembangan
Penerimaan Pajak di Indonesia
Jumlah penerimaan nominal pajak
Indonesia memang bertambah dari tahun ketahun, bahkan rasio pajak pun mulai
mengalami peningkatan. Hanya saja, semua peningkatan jumlah maupun rasio itu
masih terlalu kecil dibandingkan negara seharusnya. Sampai pada RAPBN 2009
dalam Nota Keuangan yang disampaikan Presiden RI kepada DPR tanggal 15 Agustus
2008, nota penerimaan negara yang diharapkan terkumpul selama tahun 2009 dengan
asumsi harga minyak rata-rata US$ 100 per barel mencapai Rp.1.022,6 triliun.
Hibah yang menjadi satu-satunya penerimaan luar negeri tidak sampai 0,1
persennya, yakni hanya sebesar Rp.900 miliar, dan kontribusinya kian tidak signifikan
dalam total penerimaan negara.
Dalam beberapa tahun terakhir,
realisasi penerimaan dan rasio pajak senantiasa lebih rendah dari yang
diharapkan atau ditargetkan dalam APBN. Dalam data resmi APBN 2008 Departemen
Keuangan, rasio pajak masih tercantum 13,7 persen, namun setelah disesuaikan
dalam APBN-P 2008, target rasio pajak dikoreksi menjadi 13,6 persen. Hanya saja
pemerintah memperkirakan realisasi rasio pajak di tahun 2008 bisa mencapai 13,7
persen (sama dengan patokan awal), meskipun kemungkinan hasil terbaik yang bisa
diraih untuk rasio pajak akhir tahun 2008 hanya 13,5 persen (bahkan bisa lebih
rendah lagi akibat krisis financial global yang memang terjadi sesudah
hitung-hitungan pemerintah diumumkan.
Tantangan serupa juga menghadang
dalam penggalangan bea masuk atau pajak impor. Sementara impor terus meningkat,
penerimaan bea masuk impor sebagai persentase dari nilai impor justru naik
turun, bahkan sempat mengalami penurunan pajak. Korupsi dinas bea cukai dinilai
menjadi penyebab utamanya, dan dalam laporan di tahun 2005 negara di Indonesia
yang terkorup, disusul oleh Ditjen Pajak. Penurunan tajam terjadi pada periode
2003-2004, di mana lonjakan impor justru dibarengi dengan penyusutan penerimaan
bea masuk. Mulai tahun 2007 membuahkan keberhasilan meskipun tarif impor
dipangkas, namun penerimaan bea masuk sejak tahun 2007 justru mengalami
perbaikan cukup signifikan . hal ini member bukti sekaligus dasar optimism
bahwa jika perbaikan menyeluruh dilakukan, maka hasil positif sangat bisa
diharapkan.
Dinas perpajakn sampai sekarang masih di lingkari
dengan masalah korupsi yang terlanjur bersifat sistemik. Seandainya saja
penerimaan pajak lebih memadai daripada sekarang, maka negara tidak akan terlalu trgantung pada
utang. Pemerintahan di era reformasi, khususnya pada masa pemerintahan Megawati
dan terutama pemerintahan SBY, secara bertahap telah berhasil mengatasi “badai
utang luar negeri” warisan orde baru. Utang luar negeri resmi (antar-pemerintah
atau G-to-G, dan utang dari lembaga
donor) selam ini ternyata mendatangkan lebih banyak mudarat daripada manfaat.
Pemerintahan SBY harus diakui memiliki wawasan dan keteguhan tinggi dalam
mengikis berbagai masalah yang bersumber dari utang luar negeri, khususnya
ketergantungan pada pendanaan, supervise dan pengawasan lembaga-lembaga donor
terutama IMF dan dunia, sekaligus melikuidasi CGI, yang pada dasarnya
mengutamakan kepentingan donor daripada Indonesia sebagai penerima utang.
Meskipun masalah utang luar negeri belum sepenuhnya hilang, namun ancamannya tidak
lagi mengerikan seperti di masa sebelumnya, yang menjadikan Indonesia bagai
negeri paria yang serba tidak berdaya.
terima kasi
BalasHapus