HUKUM MEDIA MASSA: Hacking Computer
Fenomena
kontemporer Hacking Computer di
Indonesia
Istilah
hacker biasanya mengacu pada
seseorang yang punya minat besar untuk mempelajari sistem komputer secara
detail dan bagaimana meningkatkan kapasitasnya. Besarnya minat yang dimiliki
seorang hacker dapat mendorongnya
untuk memiliki kemampuan penguasaan sistem di atas rata-rata pengguna. Selain hacker,
istilah lain yang sering muncul ialah cracker.Hacker dan cracker pada dasarnya
memiliki kemampuan penguasaan sistem komputer yang sama, namun yang membedakan
keduanya adalah niat dan tindakan mereka terhadap sistem komputer tersebut. “Hacker sebenarnya memiliki konotasi yang
netral. Adapun mereka yang sering melakukan aksi-aksi perusakan di internet
lazimnya disebut cracker (pembobol). Cracker adalah hacker yang memanfaatkan kemampuannya untuk hal yang negatif” (Magdalena,
dkk, 2007, hlm 9)
Aktifitas
cracking di internet memiliki lingkup
yang sangat luas mulai dari pembajakan account
milik orang lain, pembajakan situs web,
probing, menyebarkan virus, hingga
pelumpuhan target sasaran. Tindakan yang terakhir disebut dengan Dos (Denial of Services). Serangan Dos adalah
serangan yang mengganggu akses komputer untuk layanan Internet, seperti web atau e-mail.
DoS
attack merupakan serangan yang
bertujuan melumpuhkan target (hang, crash)
sehingga tidak dapat memberikan layanan. Serangan ini tidak melakukan
pencurian, penyadapan, ataupun pemalsuan data. Akan tetapi, dengan hilangnya
layanan maka target tidak dapat memberikan servis sehingga ada kerugian
finansial. (Magdalena, dkk, 2007, hlm 9).
Pentingnya Cyberlaw
Perkembangan
teknologi yang sangat pesat, membutuhkan pengaturan hukum yang berkaitan dengan
pemanfaatan teknologi tersebut. Sayangnya, hingga saat ini banyak negara
termasuk Indonesia belum memiliki perundang-undangan khusus di bidang teknologi
informasi, baik dalam aspek pidana maupun perdata. Dalam UU nomor 11 tahun 2008
mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik dimana dapat dibuktikan seperti
pembukaan UU ITE dimana, Bab I Ketentuan
Umum: Pasal 1 dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
- Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, Electronic DataInterchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
- Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
- Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.
- Dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Ketertinggalan
perundang-undangan dalam menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi informasi
tersebut menuntut adanya solusi sementara untuk mengatasi masalah hacking computer. (Undang-undang Republik
Indonesia nomor 11 tahun 2008 tentang ITE)
Permasalahan
yang sering muncul adalah bagaimana menjaring berbagai kejahatan komputer
dikaitkan dengan ketentuan pidana yang berlaku karena ketentuan hukum pidana
yang mengatur tentang kejahatan komputer yang berlaku saat ini masih belum
lengkap. “Dalam Undang-Undang No 36 tahun 1999
pasal 22, Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau
memanipulasi: Akses ke jaringan
telekomunikasi, Akses ke jasa telekomunikasi, Akses ke jaringan telekomunikasi
khusus” (Undang-Undang No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi).
Terlihat pada UU
ini bahwa kasus hacking belum
dipertegas didalam isi UU. Namun, hanya ada pelarangan didalam melakukan
perbuatan tanpa hak, tidak sah atau memanipulasi: akses kejaringan
telekomunikasi, akses ke jasa telekomunikasi, akses kejaringan khusus.
Berkembangnya
kasus kejahatan seperti hacking dan
cracking yang memanfaatkan komputer sebagai modus operansi ini, tidak luput
dari betapa mudahnya pelaku dapat lepas dari jeratan hukum. Proses pembuktian
pada jenis kejahatan yang menggunakan komputer, memiliki perbedaan dengan jenis
kejahatan lainnya. “Perbuatan atau tindakan, pelaku, alat bukti ataupun barang
bukti dalam tindak pidana biasa dapat dengan mudah diidentifikasi, tidak
demikian halnya untuk kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan komputer“ (Makarim,
2005, hlm 417)
Banyak kasus
yang membuktikan bahwa perangkat hukum di bidang teknologi informatika masih
lemah. Seperti contoh, masih belum diakuinya dokumen elektronik secara tegas
sebagai alat bukti oleh KUHAP. Hal tersebut dapat dilihat pada UU No.8/1981
pasal 184 ayat 1 bahwa undang-undang ini secara definitif membatasi alat-alat
bukti hanya sebagai keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan
keterangan terdakwa saja (Makarim, 2005, hlm 463).
Barang
bukti elektronik yang terkait dengan tindakan pidana terutama yang berhubungan
dengan kejahatan komputer merupakan sesuatu yang harus ada dalam proses
pembuktian, sebab hal ini akan berkaitan dengan keabsahan putusan pengadilan.
Namun, di Indonesia penggunaan bukti elektronik ini mengalami kesulitan. “Kesulitan
mendasar penggunaan bukti elektronik dalam proses pembuktian perkara pidana,
khususnya mengenai tindak pidana dengan menggunakan komputer, yaitu tidak
adanya patokan atau dasar penggunaan bukti elektronik di dalam
perundang-undangan kita” (Makarim, 2005, hlm. 455)
Peranan hukum
yang optimal dalam perkembangan teknologi masih membutuhkan perundang-undangan
yang lengkap dan bisa dipergunakan sebaik-baiknya untuk mengatasi permasalahan
kasus kejahatan hacking di Indonesia.
“Hingga saat ini di negara kita ternyata belum ada pasal yang bisa digunakan
untuk menjerat kejahatn cybercrime.
Harus diakui bahwa hukum yang ada di Indonesia seringkali belum dapat
menjangkau penyelesaian kasus-kasus kejahatan komputer” (Makarim, 2005, hlm.
437).
Kasus Hacking
Computer
Dani Xnuxer Versus KPU
KOMPAS.com - Masih
segar dalam ingatan kita bagaimanan seorang Dani Firmansyah menghebohkan dunia
hukum kita dengan aksi defacing-nya. Defacing alias pengubahan tampilan situs
memang tergolong dalam cybercrime
dengan menggunakan TI sebagai target.
Sesungguhnya
aksi ini tidak terlalu fatal karena tidak merusak data penting yang ada di
lapisan dalam tertentu. Defacing
biasa dilakukan dalam cyberwar. Aksi
ini biasa dilakukan sekedar sebagai peringatan dari satu hacker ke pihak tertentu. Pada cyberwar
yang lebih besar ruang lingkupnya, defacing
melibatkan lebih dari satu situs. Kasus perseteruan Ambalat antara
Indonesia-Malaysia beberapa waktu lalu misalnya, adalah salah satu contoh cyberwar yang lumayan seru.
Defacing yang dilakukan Dani alias Xnuxer
diakuinya sebagai aksi peringatan atau warning saja. Jauh-jauh hari sebelum
bertindak, Dani sudah mengirim pesan ke admin situs http://tnp.kpu.go.id bahwa
terdapat celah di situs itu. Namun pesannya tidak dihiraukan. Akibatnya pada
Sabtu, 17 April 2004, pada pukul 11.42, lelaki berkacamata itu menjalankan
aksinya. Dalam waktu 10 menit, Dani mengubah nama partai-partai peserta Pemilu
dengan nama yang lucu seperti Partai Jambu, Partai Kolor Ijo, dan sebagainya.
Tidak ada data yang dirusak atau dicuri. Ini aksi defacing murni.
Konsultan TI PT.
Danareksa ini menggunakan teknik yang memanfaatkan sebuah security hole pada
MySQL yang belum dipatch oleh admin
KPU. Security hole itu di-exploit
dengan teknik SQL injection. Pada
dasarnya teknik tersebut adalah dengan cara mengetikkan string atau command tertentu
pada address bar di browser yang biasa kita gunakan.
Seperti yang
diutarakan diatas, defacing dilakukan
Dani sekedar sebagai unjuk gigi bahwa memang situs KPU sangat rentan untuk
disusupi. Ini sangat bertentangan dengan pernyataan Ketua Kelompok Kerja
Teknologi Informasi KPU Chusnul Mar’iyah di sebuah tayangan televisi yang
mengatakan bahwa sistem TI Pemilu yangbernilai Rp 152 miliar, sangat aman 99,9%
serta memiliki keamanan 7 lapis sehingga tidak bisa tertembus hacker.
Dani sempat
melakukan spoofing, alias
penghilangan jejak dengan memakai proxy
server Thailand, tetapi tetap saja pihak kepolisian dengan bantuan
ahli-ahli TI mampu menelusuri jejaknya. Sehingga, aparat Telekomunikasi
menjeratnya dengan UU No.36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, khususnya pasal
22 butir a, b, c dan pasal 50. Dani dikenai ancaman hukuman yang berat, yaitu
penjara selama-lamanya enam tahun dan atau denda sebesar paling banyak Rp 600
juta.
Dari contoh
kasus di atas, penulis mencoba mengkaji dari perspektif UU Telekomunikasi. Berikut
kutipan UU No.36/1999:
Pasal 22
Setiap orang
dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau manipulasi:
- Akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau
- Akses ke jasa telekomunikasi; dan atau
- Akses ke jaringan telekomunikasi khusus.
Pasal 50
Barangsiapa yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah).
Akhirnya Dani
Firmansyah dituntut hukuman satu tahun penjara dan denda Rp 10 juta subsider
tiga bulan kurungan oleh Jaksa Penuntut Umum Ramos Hutapea dalam persidangan di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 9 November 2004.
Berdasarkan
contoh kasus tersebut kita bisa melihat bahwa aksi defacing yang dilakukan Dani Firmansyah bukanlah untuk mendapatkan
materi atau uang, tetapi cenderung lebih kepada suatu tantangan entah itu
ditujukan kepada pihak KPU atau justru tantangan bagi dirinya sendiri untuk
melakukan aksi hacking computer.
Motivasi para
pelaku tindak pidana komputer menjadi sesuatu yang menarik dalam jenis
kejahatan ini. Prof. Dr. Muladi, S.H., menilai bahwa tindakan para pelaku bukan
lagi semata-mata karena materi, tetapi ada motif lain yang melatar belakangi
kejahatan tersebut, yaitu challenge
(tantangan) untuk mengakali sistem komputer dan mereka akan terpuaskan dengan keberhasilan
perbuatannya (Makarim, 2005)
SOLUSI
Kejahatan
Komputer (Hacking dan Cracking) merupakan
salah satu bentuk kejahatan cybercrime
yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dalam pemanfaatan
teknologi internet. Dan hal itu dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang
melanggar hukum dengan menggunakan kecanggihan teknologi komputer dan
telekomunikasi. Kerugian yang ditimbulkan dari kejahatan ini dapat bersifat
material dan non-material seperti waktu, nilai, jasa, uang, barang, bahkan
hingga kerahasiaan informasi. Jika tidak segera ditangani di masa mendatang,
kejahatan ini dapat mengganggu aspek-aspek kehidupan, semisal dalam bidang
perekonomian melalui jaringan infrastruktur yang berbasis teknologi elektronik
seperti perbankan.
Selain itu,
perlu adanya perhatian pemerintah yang cukup intensif untuk menangani tindak
kejahatan hacking computer ini.
Pemerintah harus membuat sebuah peraturan perundangan-undangan yang lengkap dan
spesifik guna mempersempit dan meminimalisir segala bentuk kejahatan hacking computer.
Komentar
Posting Komentar
Comment