STUDI KASUS
Penelitian studi
kasus yang dibahas pada blog ini adalah penelitian studi kasus kualitatif.
Untuk lebih memahami lebih mendalam tentang penelitian studi kasus kualitatif
tersebut, terlebih dahulu lebih baik memahami penelitian kualitatif. Berikut
ini adalah bahasan tentang pengertian penelitian kualitatif tersebut.
Banyak buku teks
dan jurnal metodologi penelitian telah mengupas secara mendalam pengertian
penelitian kualitatif. Pada sub bagian ini, pembahasan pengertian penelitian
kualitatif tidak dimaksudkan untuk merangkum seluruh pengertian tersebut.
Pembahasan lebih difokuskan pada beberapa konsep dasar yang dapat digunakan
sebagai landasan untuk merumuskan karakteristik penelitian kualitatif. Untuk
lebih memperjelas posisi dan kekhususannya, beberapa bagian pembahasan
dilakukan dengan memperbandingkannya dengan penelitian kuantitatif. Penelitian
kualitatif sering diposisikan berada pada sisi lain atau berkebalikan dengan
penelitian kuantitatif.
Secara harfiah,
sesuai dengan namanya, penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang
temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur kuantifikasi, perhitungan
statistik, atau bentuk cara-cara lainnya yang menggunakan ukuran angka (Strauss
dan Corbin, 1990 dalam Hoepfl, 1997 dan Golafshani, 2003). Kualitatif berarti
sesuatu yang berkaitan dengan aspek kualitas, nilai atau makna yang terdapat
dibalik fakta. Kualitas, nilai atau makna hanya dapat diungkapkan dan
dijelaskan melalui linguistik, bahasa, atau kata-kata. Oleh karena itu, bentuk
data yang digunakan bukan berbentuk bilangan, angka, skor atau nilai; peringkat
atau frekuensi; yang biasanya dianalisis dengan menggunakan perhitungan
matematik atau statistik (Creswell, 2002).
Menurut Creswell
(2003), pendekatan kualitatif adalah pendekatan untuk membangun pernyataan
pengetahuan berdasarkan perspektif-konstruktif (misalnya, makna-makna yang
bersumber dari pengalaman individu, nilai-nilai sosial dan sejarah, dengan
tujuan untuk membangun teori atau pola pengetahuan tertentu), atau berdasarkan
perspektif partisipatori (misalnya: orientasi terhadap politik, isu,
kolaborasi, atau perubahan), atau keduanya. Lebih jelasnya, pengertian tersebut
adalah sebagai berikut:
A qualitative approach is one in which
the inquirer often makes knowledge claims based primarily on constructivist
perspectives (i.e. the multiple meanings of individual experiences, meanings
socially and historically constructed, with an intent of developing a theory or
pattern) or advocacy/ participatory perspectives (i.e. political,
issue-oriented, collaborative or change oriented) or both (Creswell, 2003,
hal.18).
Lebih jauh,
Creswell menjelaskan bahwa di dalam penelitian kualitatif, pengetahuan dibangun
melalui interprestasi terhadap multi perspektif yang berbagai dari masukan
segenap partisipan yang terlibat di dalam penelitian, tidak hanya dari
penelitinya semata. Sumber datanya bermacam-macam, seperti catatan observasi,
catatan wawancara pengalaman individu, dan sejarah.
Penelitian yang
menggunakan penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami obyek yang diteliti
secara mendalam. Lincoln dan Guba (1982) menjelaskan bahwa penelitian
kualitatif bertujuan untuk membangun ideografik dari body of knowledge,
sehingga cenderung dilakukan tidak untuk menemukan hukum-hukum dan tidak untuk
membuat generalisasi, melainkan untuk membuat penjelasan mendalam atau
ekstrapolasi atas obyek tersebut.
Berbeda dengan
penelitian kuantitatif yang bertujuan memperoleh teori-teori atau hukum-hukum
hubungan kausalitas yang general yang memungkinkan peneliti melakukan prediksi
dan pengendalian seperti yang dilakukan pada penelitian ilmu alam, penelitian
kualitatif berupaya membangun pemahaman (verstehen) dan penjelasan atas
perilaku manusia sebagai mahkluk sosial (Muhadjir, 2000).
Penelitian
kualitatif bermaksud menggali makna perilaku yang berada dibalik tindakan
manusia. Interpretasi makna terhadap perilaku ini tidak dapat digali melalui
verifikasi teori sebagai generalisasi empirik, seperti yang dilakukan pada
panelitian kuantitatif. Dengan kata lain, penelitian kualitatif bermaksud
memahami obyeknya, tetapi tidak untuk membuat generalisasi melainkan membuat
ekstrapolasi atas makna di balik obyeknya tersebut. Para peneliti kualitatif
mengungkapkan dan menjelaskan kenyataan adanya makna yang menyeluruh dibalik
obyek yang ditelitinya, yang terbentuk dari keterhubungan berbagai nilai-nilai
kehidupan dan kepercayaan, bukan dari ekstrasi atau turunan dari konteks
pengertiannya yang menyeluruh, seperti pernyataan David dan Sutton (2004)
berikut ini:
The qualitative researcher is more interested
in the fact that meanings come in packages, wholes, ways of life, belief system
and so on. Attention to ‘meanings; in this sense is a reference to the
‘holistic’ fabic of interconnected meaning that form a way of life and wich
cannot remain meaningful if they are extracted and broken down into separate
units outside of their meaningful context (David dan Sutton, 2004, hal.
35).
Untuk mengkaji
realita kehidupan secara menyeluruh, tidak dapat dilakukan hanya melalui
pengalaman seseorang yang bersifat individual, tetapi harus melalui
mempertimbangkan jalinan antar individu anggota kelompok masyarakat yang
diteliti. Kehidupan itu sendiri terdiri dari unit-unit, baik individu maupun
kelompok yang saling terkait dalam suatu jaringan yang saling mendukung dan
melengkapi, sehingga tidak dapat hanya dipandang dari satu sisi saja. Pada
dasarnya, untuk menggambarkan kehidupan manusia, kajian penelitian tidak dapat
dilakukan dengan memisahkan dan mereduksinya menjadi unit-unit yang saling
terpisah, seperti yang dilakukan pada penelitian kuantitatif. Singkatnya,
mengkaji kehidupan manusia secara holistik dapat lebih bermakna daripada
melihatnya dalam kondisi terpisah-pisah. Hal tersebut seperti dijelaskan dalam
pernyataan berikut ini:
Qualitative research claims to describe
lifeworlds ‘from the inside out’, from the point of view of the people who
participate. By so doing it seeks to contribute to a better understanding of
social realities and to draw attention to processes, meaning patterns and
structural features. Those remain closed to non-participants, but are also, as
a rule, not consciously known by actors caught up in their unquestioned daily
routine
(Flick, Kardorff, dan Steinke, 2004, hal. 3).
Pendekatan
kualitatif berasumsi bahwa manusia adalah makhluk yang aktif yang mempunyai
kebebasan berkemauan dan berkehendak, yang perilakunya hanya dapat dipahami
dalam konteks budayanya, dan perilakunya yang seringkali tidak didasarkan oleh
hukum sebab-akibat seperti yang terdapat pada hukum-hukum alam. berbeda dengan
benda yang sekedar dapat bergerak seperti yang diamati dalam penelitian ilmu
alam, manusia adalah mahkluk sosial yang dapat bertindak dan berkehendak atas
dasar berbagai alasan-alasan humanistik, sehingga seringkali tidak dapat
dijelaskan melalui pendekatan yang mekanistik. Karena pada dasarnya manusia
tidak sepenuhnya merupakan benda atau mahkluk yang mekanistis, cara-cara
mekanistik yang menggunakan pendekatan kuantifikasi tidak tepat digunakan untuk
menelitinya.
Untuk mencapai
hal tersebut, penelitian kualitatif lebih menekankan pada bahasa atau
linguistik sebagai sarana penelitiannya. Sarana bahasa lebih mampu untuk
mengungkapkan perasaan, nilai-nilai yang berada dibalik perilaku manusia
(Lawson dan Garrod dalam Daivid dan Sutton, 2004). Keunikan manusia sebenarnya
bukanlah terletak pada kemampuan berpikirnya, melainkan terletak pada
kemampuannya berbahasa (Suriasumantri, 2007). Bahasa merupakan cerminan
ungkapan perasaan dan nilai-nilai manusia.
Manusia hidup
adalah manusia yang memiliki kemampuan untuk mengungkapkan perasaan dan
pikirannya ke dalam bentuk perbuatan dan pengunkapan linguistik, baik lisan
maupun tertulis. Tindakan dan ucapan merupakan satu kesatuan yang dibutuhkan
untuk merefleksikan perasaan dan pikiran seseorang. Jatidiri manusia pada prinsipnya
berkaitan erat dengan fungsi dirinya sebagai pemakai bahasa. Tanpa kemampuan
berbahasa yang baik, manusia tidak mampu berpikir dan mengungkapkan hasilnya
secara sistematis dan teratur.
Disamping itu,
bahasa mencerminkan tradisi, nilai dan budaya masyarakat yang menggunakannya.
Makna dibalik bahasa yang digunakan suatu masyarakat mencerminkan konteks
budaya dan lingkungannya. Perilaku tindakan dan penggunaan bahasa merupakan
satu kesatuan yang membentuk norma-norma yang diciptakan untuk mengatur kehidupan
bermasyarakat. Oleh karena itu, melalui sarana bahasa, penelitian kualitatif
mampu mengangkat pluralisasi hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan secara
lebih mendalam (Flick, 2002). Sarana ukuran atau angka yang dipergunakan dalam
penelitian kuantitatif memang bersifat obyektif, solid, tidak terbantahkan dan
obyektif, tetapi tidak dapat menggambarkan detail-detail penjelasan perbedaan
dalam cara memandang terhadap makna secara mendalam.
Sementara itu,
meskipun penggunaan sarana bahasa di dalam penelitian kualitatif dianggap
menyebabkan hasil penelitian bersifat subyektif, tetapi biasanya kaya akan
detail makna yang berada dibalik tradisi, budaya dan perilaku manusia dan
masyarakat yang diteliti. Subyektifitas itu sendiri secara alamiah muncul
karena hasil penelitian sangat terkait dengan konteks lingkungan penelitian,
sehingga memiliki perbedaan terhadap hasil penelitian yang terdapat di tempat
lain.
Agar mendapatkan
pemahaman yang mendalam tentang makna yang berada dibalik obyek yang diteliti,
Denzin dan Lincoln (1994) menyatakan bahwa penelitian kualitatif harus
dilaksanakan pada kondisi alami. Guba dan Lincoln (1985) menyebut pendekatan
penelitian yang demikian sebagai pendekatan naturalistik. Menurut pendekatan
ini, data penelitian harus diperoleh pada kondisi dan situasi yang sebenarnya,
atau bukan di laboratorium. Pengamatan pada lingkungan alami akan menunjukkan
hubungan antara tindakan dan linguistik digunakan dalam kondisi yang sebenarnya
secara alamiah, dengan konteks lingkungan yang mempengaruhinya. Jika pengamatan
terhadap tindakan dan bahasa dilakukan dil aboratorium, dapat diibaratkan
seperti pengamatan yang dilakukan pada sebuah panggung sandiwara. Observasi
penggunaan lingustik pada konteks alamiah yang sebenarnya dapat mengungkapkan
fungsi lingustik tidak hanya sebagai alat untuk mengungkapkan pikiran dan
perasaan seseorang, tetapi menggambarkan peran pentingnya di dalam pemanfaatan
nilai-nilai budaya dan tradisi di dalam kehidupan masyarakat yang sebenarnya.
Sebagian besar
penulis dan peneliti mensyaratkan bahwa pengambilan data penelitian kualitatif
harus dilakukan sedekat mungkin, bahkan beberapa metoda penelitian kualitatif,
seperti metoda penelitian ethnografi, mensyaratkan penelitinya terlibat
langsung di dalam setting yang ditelitinya, seperti yang dijelaskan oleh Patton
(2001) berikut ini:
Qualitative research uses a naturalistic
approach that seeks to understand phenomena in context-specific settings, such
as "real world setting [where] the researcher does not attempt to
manipulate the phenomenon of interest" (Patton, 2001, hal. 39)
Oleh karena itu,
data penelitian kualitatif tidak hanya berupa kondisi perilaku masyarakat yang
diteliti, tetapi juga kondisi dan situasi lingkungan disekitarnya. Untuk
mencapai hal tersebut jenis data yang digunakan bervariasi, diantaranya adalah
pengalaman personal, introspektif, sejarah kehidupan, hasil wawancara,
observasi lapangan, perjalanan sejarah dan hasil pengamantan visual, yang
menjelaskan momen-momen dan nilai-nilai rutinitas dan problematik kehidupan
setiap individu yang terlibat di dalam penelitian. Lebih jelasnya, perhatikan
dua pengertian komprehensif penelitian kualitatif, berikut ini:
Qualitative research is a situated
activity that locates the observer in the world. It consists of a set
interpretive, material practices transform the world. They turn the world into
a series of representations, including filed notes, interviews, conversations,
photographs, recordings, and memos to self. This means that qualitative
researches study things in their natural settings, attempting to make sense of,
or interpret, phenomena in terms of the meanings people bring to them (Denzin and
Lincoln, 2005, hal. 3).
Qualitative research is multimethod in focus, involving an interpretive, naturalistic approach to its subject matter. This means that qualitative researchers study things in their natural settings, attempting to make sense of, or interpret, phenomena in terms of the meanings people bring to them. Qualitative research involves the studied use and collection of a variety of empirical materials - case study, personal experience, introspective, life story, interview, observational, historical, interactional, and visual texts - that describe routine and problematic moments and meanings in individuals’ lives. Accordingly, qualitative research deploys wide range of interconnected methods, hoping always to get a better fix on the subject matter at hand (Denzin 1994, hal. 2).
Qualitative research is multimethod in focus, involving an interpretive, naturalistic approach to its subject matter. This means that qualitative researchers study things in their natural settings, attempting to make sense of, or interpret, phenomena in terms of the meanings people bring to them. Qualitative research involves the studied use and collection of a variety of empirical materials - case study, personal experience, introspective, life story, interview, observational, historical, interactional, and visual texts - that describe routine and problematic moments and meanings in individuals’ lives. Accordingly, qualitative research deploys wide range of interconnected methods, hoping always to get a better fix on the subject matter at hand (Denzin 1994, hal. 2).
Untuk memenuhi
kebutuhan data yang beranekaragam tersebut, penelitian kualitatif menggunakan
berbagai metoda pengumpulan data, seperti wawancara individual, wawancara
kelompok, penaelitian dokumen dan arsip, serta penelitian lapangan. Antara
metoda satu dengan yang lainnya tidak saling terpisah, tetapi saling berkaitan
dan saling mendukung untuk menghasilkan data yang sesuai dengan kebutuhan. Data
yang diperoleh dari suatu metoda disalingsilangkan dengan data yang diperoleh
melalui metoda yang lain, sehingga menghasilkan data yang dapat dipercaya
(valid) dan sesuai dengan kenyataan (reliabel).
Untuk
menjalankan tuntutan metoda yang demikian, penelitian kualitatif menempatkan
manusia sebagai figur terpenting dalam penelitian. Berbeda dengan penelitian
kuantiatif yang menempatkan kuisener, rumus matematika dan statistik sebagai
instrumen pengumpulan dan pengolahan data, penelitian kualitatif memposisikan
manusia sebagai instrumen utama penelitian. Peneliti sebagai manusia
berhubungan langsung dan tidak dapat dipisahkan dalam proses pengumpulan,
analisis dan interpretasi data. Oleh karena itu, realita yang berhasil digali
dan ditemukan melalui penelitian kualitatif sering dianggap bersifat subyektif,
karena sangat tergantung dari kapasitas dan kredibilitas pihak-pihak yang
terkait, baik peneliti maupun partisipan yang terlibat di dalamnya (Golafshani,
2003).
Untuk
menghindari temuan yang subyektif, penelitian kualitatif menggunakan bermacam
sumber data. Denzin dan Lincoln (2005) menjelaskan bahwa sumber data yang
dipergunakan diantaranya adalah catatan lapangan, wawancara, percakapan, foto,
rekaman dan berbagai artefak, dokumen atau arsip yang terdapat di lapangan.
Setiap sumber data tersebut disalingsilangkan agar data yang diperoleh dapat
dipercaya (valid) dan sesuai dengan kebutuhan (reliabel).
Untuk mencapai
hal tersebut, metoda yang dipergunakan adalah metoda triangulasi, yaitu metoda
yang menggunakan beberapa sumber data untuk mencapai konvergensi data sehingga
mencapai data yang valid (Golafshani, 2003). Secara khusus, Lincoln dan Guba
(1985), menyebut reabilitas di dalam penelitian kualitatif dipenuhi melalui
kredibilitas (credibility) partisipan, konsistensi (consistent)
dan transferabilitas (transferability) temuan. Sedangkan validitas dapat
dicapai melalui kualitas (quality) data, ketepatan (rigor) dan
kejujuran (trustworthiness) pengungkapannya.
Berdasarkan
pembahasan di depan, maka secara hakikat keilmuan, karakteristik penelitian
kualitatif dapat disimpulkan sebagai berikut:
Secara ontologis, penelitian
kualitatif memandang realita terbentuk dari hakikat manusia sebagai subyek yang
mempunyai kebebasan menentukan pilihan berdasarkan sistem makna individu. Oleh
karena itu, fenomena sosial, budaya dan tingkah laku manusia tidak cukup dengan
merekam hal-hal yang tampak secara nyata, melainkan juga harus mencermati
secara keseluruhan dalam totalitas dengan konteksnya. Hal ini perlu dilakukan
karena tingkah laku sebagai fakta tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan begitu
saja dari konteks yang melatarbelakanginya, serta tidak dapat disederhanakan ke
dalam hukum-hukum tunggal yang bebas nilai dan bebas konteks. Subyek penelitian
kualitatif adalah tingkah laku manusia sebagai individu yang menjadi anggota
masyarakat. Di sini ditekankankan perspektif pandangan sosio-psikologis, yang
sasaran utamanya adalah pada individu dengan kepribadiannya dan pada interaksi
antara pendapat internal dan eksternal tingkah laku seseorang terhadap latar
belakang kehidupan sosialnya. Para peneliti kualitatif meyakini bahwa di dalam
masyarakat terdapat keteraturan yang terbentuk secara alami seiring dengan
perjalanan sejarah, yang dilatarbelakangi oleh nilai-nilai tertentu. Oleh
karena itu, tugas peneliti adalah menemukan kebenaran dibalik keteraturan itu
pada umumnya dan khususnya nilai-nilai yang melatarbelakanginya, bukan
menciptakan atau membuat sendiri batasan-batasannya berdasarkan teori atau
aturan yang ada. Jadi, pada hakikatnya penelitian kualitatif adalah satu
kegiatan sistematis untuk melakukan eksplorasi atas teori dari fakta di dunia
nyata, bukan untuk menguji teori atau hipotesis. Penelitian kualitatif tetap
mengakui fakta empiris sebagai sumber pengetahuan tetapi tidak menggunakan
teori yang ada sebagai landasan untuk melakukan verifikasi.
Secara
epistemologis,
di dalam penelitian kualitatif, proses penelitian merupakan sesuatu yang lebih
penting dibanding dengan hasil yang diperoleh. Karena itu peneliti sebagai
instrumen utama pengumpul data merupakan salah satu karakteristik utama
penelitian kualitatif. Hanya dengan keterlibatan peneliti dalam proses
pengumpulan datalah hasil penelitian dapat dipertanggungjawakan. Khusus dalam
proses analisis dan pengambilan kesimpulan, paradigma kualitatif menggunakan
induksi analitis dan ekstrapolasi. Induksi analitis adalah satu pendekatan
pengolahan data ke dalam konsep-konsep dan kateori-kategori, jadi bukan dalam bentuk
frekuensi. Untuk mencapai hal tersebut, sarana berpikir yang digunakan tidak
dalam bentuk numerik, melainkan dalam bentuk deskripsi bahasa, yang ditempuh
dengan cara merubah data ke dalam penjelasan-penjelasan yang bersifat
formulatif. Sedangkan ekstrapolasi adalah suatu cara pengambilan kesimpulan
yang dilakukan secara simultan pada saat proses induksi analitis dan dilakukan
secara bertahap dari satu makna ke makna lainnya, kemudian dirumuskan suatu
pernyataan teoritis.
Secara
aksiologis,
konsep atau teori yang diperoleh dari proses penelitian kualitatif dapat
dimanfaatkan untuk membangun kehidupan suatu kelompok masyarakat yang
berlandaskan kepada nilai-nilai dasar kehidupan mereka sendiri. Nilai-nilai
yang digali melalui interaksi antara peneliti dengan partisipannya dapat
menghasilkan teori lokal dan spesifik yang dapat merepresentasikan kehidupan
sosial, budaya dan tradisi, yang terkritalisasi melewati sejarah kehidupan
individu atau masyarakat yang diteliti. Pemanfaatan nilai-nilai spesifik tentu
saja akan sangat sesuai dengan kehidupan individu atau masyarakat yang
diteliti. Apabila nilai-nilai yang bersifat lokal dan spesifik tersebut hendak
digeneralisasikan dan dimanfaatkan pada lokasi atau kasus yang lain, harus
melalui proses khusus yang disebut sebagai transferabilitas. Proses
tranferabilitas biasanya dilakukan melalui serangkaian proses dialog teori yang
memperbandingkan antara konsep atau teori yang ditemukan dengan teori yang ada
dan telah diakui. Melalui proses tersebut, nilai-nilai yang bersifat lokal,
spesifik dan kontekstual dapat di dkonfirmasikan terhadap teori-teori general
sebagai upaya untuk memberikan ilustrasi kontribusinya terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan dan manfaatnya di dalam pembangunan kehidupan masyarakat
secara umum.
Karakteristik Penelitian Studi Kasus
Dari pembahasan
tentang pengertian penelitian studi kasus, dapat
disimpulkan bahwa penelitian studi kasus adalah penelitian yang meneliti
fenomena kontemporer secara utuh dan menyeluruh pada kondisi yang sebenarnya,
dengan menggunakan berbagai bentuk data kualitatif. Penjelasan
tersebut menunjukkan bahwa, karakteristiuk penelitian studi kasus pada umumnya
sama dengan karakteristik penelitian kualitatif pada umumnya. Seperti telah dijelaskan di depan, karakteristik
penelitian kualitatif dilandasi oleh tujuan utamanya yaitu untuk menggali
substansi mendasar di balik fakta yang terjadi di dunia. Secara khusus, penelitian
studi kasus memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan jenis
penelitian kualitatif yang lain. Kekhususan penelitian studi kasus adalah pada
cara pandang penelitinya terhadap obyek yang diteliti. Dari cara pandang yang
berbeda ini, menimbulkan kebutuhan metoda penelitian yang khusus, yang berbeda
dengan jenis penelitian kualitatif yang lain.
Berdasarkan
pendapat Yin (2003a, 2009); VanWynsberghe dan Khan (2007); dan Creswell (2003.
2007) secara lebih terperinci, karakteristik penelitian studi kasus dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Menempatkan obyek penelitian sebagai kasus.
1. Menempatkan obyek penelitian sebagai kasus.
Seperti telah
dijelaskan di dalam pengertian penelitian studi kasus di depan, keunikan
penelitian studi kasus adalah pada adanya cara pandang terhadap obyek penelitiannya
sebagai ’kasus’. Bahkan, secara khusus, Stake (2005) menyatakan bahwa
penelitian studi kasus bukanlah suatu pilihan metoda penelitian, tetapi
bagaimana memilih kasus sebagai obyek atau target penelitian. Pernyataan ini
menekankan bahwa peneliti studi kasus harus memahami bagaimana menempatkan
obyek atau target penelitiannya sebagai kasus di dalam penelitiannya.
Kasus itu
sendiri adalah sesuatu yang dipandang sebagai suatu
sistem kesatuan yang menyeluruh, tetapi terbatasi oleh kerangka konteks tertentu (Creswell, 2007). Sebuah
kasus adalah isu atau masalah yang harus dipelajari, yang akan mengungkapkan
pemahaman mendalam tentang kasus tersebut, sebagai suatu kesatuan sistem yang
dibatasi, yang melibatkan pemahaman sebuah peristiwa, aktivitas, proses, atau
satu atau lebih individu. Melalui penelitian studi kasus, kasus yang diteliti
dapat dijelaskan secara terperinci dan komprehensif, menyangkut tidak hanya
penjelasan tentang karakteristiknya, tetapi juga bagaimana dan mengapa
karakteristik dari kasus tersebut dapat terbentuk. Untuk lebih jelasnya,
perhatikan kutipan berikut ini:
We have indicated that a case is
effectively a bounded system, which implies that the case is potentially
subject to the principles of systems theory (Anaf dkk., 2007, 1311). A case is, essentially, a research study with a sample of one. The “one n”
sample is the particular event, situation, organization, or selection of
individuals that is presented in written or other forms. It provides readers
with a vehicle to discuss, analyze, and develop criteria and potential
solutions for the problems presented in the case (Naumes dan Naumes, 2006,
7). A case study is a problem to be studied,
which will reveal an in-depth understanding of a “case” or bounded system,
which involves understanding an event, activity, process, or one or more
individuals
(Creswell, 2002, 61).
Seperti telah dijelaskan pada bagian
kajian pengertian di depan, maksud penelitian studi kasus adalah untuk
menjelaskan dan mengungkapkan kasus secara keseluruhan dan komprehensif. Dengan
demikian, kasus dapat didefinisikan secara praktis sebagai suatu fenomena yang
harus diteliti dan diinterpretasikan sebagai satu kesatuan yang utuh dan
komprehensif pada setiap variabel informasi yang terdapat di dalamnya. Untuk lebih
jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:
A case can be defined technically as a
phenomenon for which we report and interpret only a single measure on any
pertinent variable
(Eckstein, 2002, 124).
Karena
penelitian studi kasus menempatkan kasus sebagai obyek penelitian yang harus
diteliti secara menyeluruh, kasus tidak dapat disamakan dengan contoh atau
sampel yang mewakili suatu populasi, seperti yang dilakukan pada penelitian
kuantitatif. Kasus mewakili dirinya sendiri secara keseluruhan pada lingkup
yang dibatasi oleh kondisi tertentu sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian.
Pembatasan dapat dilakukan dari berbagai sudut pandang, seperti pembatasan
lokasi, waktu, pelaku dan fokus substansi. Dalam hal ini, secara khusus, Yin
(2009) menyatakan bahwa substansi yang diteliti dari suatu kasus harus
dipandang dan diposisikan sebagai unit analisis. Sebagai unit analisis,
substansi yang diteliti dari suatu kasus harus dilihat dan dikaji secara
keseluruhan untuk mencapai maksud dan tujuan penelitian. Di dalam banyak
penelitian studi kasus, unit analisis penelitiannya adalah kasus itu sendiri.
Misalnya, penelitian studi kasus tentang pembangunan jembatan di kawasan
perbatasan, maka unit analisisnya adalah pembangunan jembatan tersebut. Tetapi
banyak pula penelitian studi kasus, dengan unit analisis yang berbeda dengan
kasusnya. Yin (2009) menyebut unit analisis yang demikian sebagai unit yang
tertanam (embedded unit). Misalnya, penelitian studi kasus manajemen
kawasan perbatasan daerah, unit analisisnya dapat bermacam-macam, seperti
manajemen pemeliharaan dan operasional infrastruktur; manajemen fasilitas umum;
dan manajemen kerjasama di kawasan perbatasan daerah.
Kasus atau unit
analisis sebagai obyek penelitian dapat berupa berbagai ragam. Pada umumnya,
kasus menyangkut kejadian dari kehidupan sehari-hari yang nyata. Kasus dapat
berupa seseorang, sekelompok orang, kejadian, masalah, konflik, keputusan,
program, pelaksanaan suatu proses, dan proses organisasi. Untuk lebih jelasnya,
perhatikan kutipan-kutipan berikut ini:
Cases (sometimes referred to as case
writing) and case study differ in manyways and resemble each other in
otherways.We will look at them both individually. The case itself is an account
of an activity, event, or problem. The case usually describes a series of
events that reflect the activity or problem as it happened (Dooley, 2002,
337).
Of course, the ‘case’ also can be some event or entity other than a singe individual. Case studies have been done about decisions, programs, the implementation process, and organizational process (Yin, 2009, 29). Cases can be programs, events, persons, processes, institutions, social groups, and other contemporary phenomena (Hancock dan Algozzine, 2006, 15). Cases are rather special. A case is a noun, a thing, an entity; it is seldom a verb, a participle, a functioning (Stake, 2006, 1).
Meskipun tampaknya posisi kasus di dalam penelitian studi kasus telah cukup
jelas, tetapi hingga saat ini, masih terjadi perdebatan tentang obyek yang
dapat dikategorikan sebagai kasus (McCaslin dan Scott. 2003). Perdebatan
terjadi karena belum disepakatinya cara atau teknik untuk membatasi obyek
penelitian studi kasus agar dapat disebut sebagai kasus. Pada umumnya, untuk
membatasi obyek penelitian sebagai kasus adalah dengan menggunakan batasan
waktu dan ruang. Ruang lingkup penelitian suatu obyek dapat dibatasi dengan
membatasinya dari awal terjadinya kasus, hingga berakhirnya kasus. Kasus juga
dapat ditentukan dengan membatasi ruang kejadian atau tempat keberadaan yang
terkait dengan kasus tersebut. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut
ini:Of course, the ‘case’ also can be some event or entity other than a singe individual. Case studies have been done about decisions, programs, the implementation process, and organizational process (Yin, 2009, 29). Cases can be programs, events, persons, processes, institutions, social groups, and other contemporary phenomena (Hancock dan Algozzine, 2006, 15). Cases are rather special. A case is a noun, a thing, an entity; it is seldom a verb, a participle, a functioning (Stake, 2006, 1).
At a minimum, a case is a phenomenon
specific to time and space (Johansson, 2003, 4).
Meskipun demikian, banyak ahli yang menyatakan bahwa kasus juga dapat juga
dibatasi dengan menggunakan berbagai cara dan metoda yang lain, misalnya dengan
mengkaji jejak-jejak pengaruh yang disebabkan oleh keberadaan atau terjadinya
kasus tersebut. Disamping itu, pembatasan tentang suatu obyek juga dapat
dilihat dari pihak-pihak yang terlibat atau terkait dengan keberadaan atau
terjadinya kasus tersebut. Lebih jauh, karena memandang obyek penelitian sebagai kasus, penelitian studi
kasus dipandang sebagai penelitian yang menggunakan jumlah obyek
sedikit. VanWynsberghe dan Khan (2007) menyebutnya sebagai penelitian dengan small-N.
Disebut jumlah N (n dengan huruf besar) yang kecil, karena
meskipun memiliki jumlah kasus atau unit analisis hanya satu, tetapi mungkin
saja untuk menjelaskan kasus tersebut membutuhkan banyak pihak yang dilibatkan
sebagai informan di dalam proses penelitiannya.
2. Memandang kasus sebagai fenomena yang bersifat
kontemporer
Bersifat
kontemporer, berarti kasus tersebut sedang atau telah selesai terjadi, tetapi masih
memiliki
dampak yang dapat dirasakan pada saat penelitian
dilaksanakan, atau yang dapat menunjukkan perbedaan dengan fenomena yang biasa
terjadi.
Dengan kata lain, sebagai bounded system (sistem yang dibatasi),
penelitian studi kasus dibatasi dan hanya difokuskan pada hal-hal yang berada
dalam batas tersebut. Pembatasan dapat berupa waktu maupun ruang yang terkait
dengan kasus tersebut. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:
The case study research method as an
empirical inquiry that investigates a contemporary phenomenon within its
real-life context; when the boundaries between phenomenon and context are not
clearly evident; and in which multiple sources of evidence are used (Yin, 1984, 23;
Yin, 2003a, 13). At a minimum, a case is a phenomenon specific to time and space (Johansson,
2003, 4). Case studies provide a detailed description of a specific temporal and spatial
boundary. Attending to place and time brings context to the structures and
relationships that are of interest (VanWynsberghe dan Khan, 2007, 4).
Kata kontemporer itu sendiri berasal dari kata co (bersama)
dan tempo (waktu). Sehingga menegaskan bahwa sesuatu yang bersifat
kontemporer adalah sesuatu yang secara tematik merefleksikan situasi waktu yang
sedang dilalui. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kontemporer merupakan
kata sifat yang menunjukkan bahwa sesuatu ada pada waktu atau masa yang sama
atau pada masa kini. Pengertian ini menunjukkan bahwa sesuatu yang kontemporer
berarti bersifat ada pada suatu waktu atau masa tertentu. Untuk menunjukkan sifat kontemporernya tersebut, berarti penjelasaan
tentang keberadaan sesuatu tersebut harus dibatasi dalam kerangka waktu
tertentu. Disamping dengan menggunakan waktu, pembatasan dapat dilakukan dengan
menggunakan ruang lingkup kegiatan terjadinya phenomena tersebut. Untuk lebih
jelasnya, perhatikan kutipan-kuti[an berikut ini:
A case is a factual description of
events that happened at some point in the past (Naumes dan
Naumes, 2006, 4). Case study research is also good for contemporary events when the relevant
behaviour cannot be manipulated. Typically case study research uses a variety
of evidence from different sources, such as documents, artefacts, interviews
and observation, and this goes beyond the range of sources of evidence that
might be available in historical study (Rowley, 2002, 17).
Lebih jauh, kontemporer sering dikaitkan dengan kekinian, modern atau lebih
tepatnya adalah sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama atau saat ini;
jadi sesuatu yang bersifat kontemporer adalah sesuatu yang tidak terikat oleh
aturan-aturan zaman dulu, tetapi berkembang sesuai pada masa sekarang. Sebagai
contoh, seni kontemporer adalah karya seni yang secara tematik merefleksikan
situasi waktu yang sedang dilalui, yang tidak lagi terikat pada jaman dahulu,
tetapi masih terikat dan berlaku pada masa sekarang. Lebih jauh, seni
kontemporer itu sendiri sering dipandang sebagai seni yang melawan seni yang
telah mentradisi, yang dikembangkan untuk membangkitkan wacana pemunculan indegenous
art (seni pribumi), atau khasanah seni lokal para seniman.
Obyek penelitian yang berkebalikan dengan kasus sebagai fenomena
kontemporer adalah obyek yang bersifat telah ada atau berlangsung sangat lama,
sehingga sering dipandang telah menjadi suatu budaya atau tradisi. Obyek yang
demikian diteliti dengan menggunakan strategi atau metoda penelitian kualitatif
yang lain, seperti grounded theory, phenomenologi, biografi atau
ethnografi. Seringkali, penelitian tentang obyek yang telah tua tersebut
bertujuan untuk menggali nilai-nilai kehidupan yang berada dibalik kehidupan
masyarakat.
3. Dilakukan pada kondisi kehidupan
sebenarnya
Seperti halnya
pendekatan penelitian kualitatif pada umumnya, pelaksanaan penelitian studi
kasus menggunakan pendekatan penelitian naturalistik. Dengan
kata lain, penelitian studi kasus menggunakan salah satu karakteristik
pendekatan penelitian kualitatif, yaitu meneliti obyek pada kondisi yang
terkait dengan kontekstualnya. Dengan kata lain, penelitian studi kasus
meneliti kehidupan nyata, yang dipandang sebagai kasus. Kehidupan nyata itu
sendiri adalah suatu kondisi kehidupan yang terdapat pada lingkungan hidup
manusia baik sebagai individu maupun anggota kelompok yang sebenarnya. Untuk
lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:
By the definition of the North American Case Research Association
and many other groups of case writers, including the authors of this book, a
case is a description of a real situation. Although the case may disguise some
or most of the facts, the basic situation is neither changed nor invented
(Naumes dan Naumes, 2006, 9).
Sebagai
penelitian dengan obyek kehidupan nyata, penelitian studi kasus mengkaji semua
hal yang terdapat disekeliling obyek yang diteliti, baik yang terkait langsung,
tidak langsung maupun sama sakali tidak terkait dengan obyek yang diteliti.
Penelitian studi kasus berupaya mengungkapkan dan menjelaskan segala sesuatu
yang berkaitan dengan obyek yang ditelitinya pada kondisi yang sebenarnya, baik
kebaikannya, keburukannya, keberhasilannya, maupun kegagalannya secara apa
adanya. Sifat yang demikian menyebabkan munculnya pandangan bahwa penelitian
studi kasus sangat tepat untuk menjelaskan suatu kondisi alamiah yang kompleks.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:
A good case is generally taken from real
life and includes the following components: setting, individuals involved, the
events, the problems, and the conflicts. Because cases reflect real-life
situations, cases must represent good and bad practices, failures as well as
successes. Facts must not be changed to expose how the situation should have
been handled (Dooley,
2002, 337).
Case study is uniquely suitable for research in complex settings because it advances the concept that complex settings cannot be reduced to single cause and effect relationships (VanWynsberghe dan Khan, 2007, 4).
Case study is uniquely suitable for research in complex settings because it advances the concept that complex settings cannot be reduced to single cause and effect relationships (VanWynsberghe dan Khan, 2007, 4).
Berkebalikan
dengan penelitian yang di lakukan pada kehidupan nyata, penelitian dapat
dilakukan pada laboratorium. Pada umumnya, penelitian di laboratotium dilakukan
dengan membangun kondisi buatan sedemikian rupa, sesuai dengan maksud dan
tujuan penelitian, misalnya untuk mengeskplorasi dan memperjelas
variabel-variabel yang terkait atau tidak terkait dengan obyek penelitian.
Penelitian yang menggunakan kondisi buatan ini disebut sebagai penelitian
eksperimental. Pada umumnya, tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan
pengujian terhadap obyek penelitian terhadap kondisi tertentu yang dibangun
sesuai dengan keinginan penelitinya. Penggunaan penelitian di laboratorium juga
diakukan apabila penelitian yang diinginkan tidak dapat dilakukan pada kondisi
alamiahnya. Untuk itu, pada banyak penelitian eksperimental, kondisi buatan
tersebut dibuat sedemikian rupa dan diusahakan menyerupai kondisi alam yang
sebenarnya.
Penelitian
eksperimental yang demikian secara umum tidak sesuai dengan kriteria penelitian
studi kasus (Yin, 2009). Meskipun kondisi buatan di laboratorium dibuat
mendekati kondisi alamiahnya, kondisi alamiah yang sebenarnya merupakan kondisi
yang tepat dan terbaik bagi penelitian studi kasus pada khususnya, dan
penelitian kualitatif pada umumnya, karena pada dasarnya penelitian tersebut
bertujuan mengungkapkan dan menjelaskan obyek penelitian sesuai apa adanya di
kondisi yang alamiah. 4. Menggunakan berbagai sumber data
Due to the nature of case study
research, the researcher will generate large amounts of data from multiple
sources. Time taken to plan prior to the research will allow one to organize
multiple databases and set categories for sorting and managing the data (Dooley, 2002,
341).
Adapun
bentuk-bentuk data tersebut dapat berupa catatan hasil wawancara, pengamatan
lapangan, pengamatan artefak dan dokumen. Catatan wawancara merupakan hasil
yang diperoleh dari proses wawancara, baik berupa wawancara mendalam terhadap
satu orang informan maupun terhadap kelompok orang dalam suatu diskusi.
Sedangkan catatan lapangan dan artefak merupakan hasil dari pengamatan atau
obervasi lapangan. Catatan dokumen merupakan hasil pengumpulan berbagai dokumen
yang berupa berbagai bentuk data sekunder, seperti buku laporan, dokumentasi
foto dan video.
5. Menggunakan teori sebagai acuan penelitian
Karakteristik
penelitian studi kasus yang relatif berbeda dibandingkan dengan strategi atau
metoda penelitian studi kasus yang lain adalah penggunaan teori sebagai acuan
penelitian. Berdasarkan pemikiran induktif yang bermaksud untuk membangun
pengetahuan-pengetahuan baru yang orisinil, penelitian kualitatif selalu
dikonotasikan sebagai penelitian yang menolak penggunaan teori sebagai acuan
penelitian. Penggunaan teori sebagai acuan dianggap dapat mengurangi
orisinalitas temuan dari penelitian kualitatif. Untuk lebih jelasnya, perhatikan
kutipan berikut ini:
Case study routinely uses multiple
sources of data. This practice develops converging lines of inquiry, which
facilitates triangulation and offers findings that are likely to be much more
convincing and accurate (VanWynsberghe dan Khan, 2007, 4).
Pada penelitian
studi kasus, teori digunakan baik untuk
menentukan arah, konteks, maupun posisi hasil penelitian. Kajian teori
dapat dilakukan di bagian depan, tengah dan belakang proses penelitian. Pada
bagian depan, teori digunakan untuk membangun arahan dan pedoman di dalam
menjalankan kegiatan penelitian. Secara khusus, pada
bagian ini, teori dapat dipergunakan untuk membangun hipotesis, seperti halnya
yang dilakukan pada paradigma deduktif atau positivistik (VanWynsberghe dan
Khan, 2007; Eckstein, 2002; Lincoln dan Guba, 2000). Pada bagian
tengah, teori dipergunakan untuk menentukan posisi temuan-temuan penelitian
terhadap teori yang ada dan telah berkembang (Creswell, 2003, 2007). Sedangkan
pada bagian belakang, teori dipergunakan untuk menentukan posisi hasil
keseluruhan penelitian terhadap teori yang ada dan telah berkembang (Creswell,
2003, 2007).
Melalui
pemanfaatan teori tersebut, peneliti studi kasus dapat membangun teori yang
langsung terkait dengan kondisi kasus yang ditelitinya. Kesimpulan konseptual
dan teoritis yang dibangun melalui penelitian studi kasus dapat lebih bersifat
alamiah, karena sifat dari kasus yang alamiah seperti apa adanya tersebut.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan kuti[pan berikut ini:
Researchers can generate working
hypotheses and learn new lessons based on what is uncovered or constructed
during data collection and analysis in the case study. The entity or phenomenon
under study emerges throughout the course of the study, and it is this
surfacing that can bring the study to a natural conclusion (VanWynsberghe
dan Khan, 2007, 4).
Paradigma Penelitian pada Penelitian Studi Kasus
Untuk
memperjelas posisinya di dalam dunia penelitian ilmiah, peneliti yang
menggunakan metoda penelitian studi kasus harus mengetahui dan memahami
paradigma yang memayungi metoda yang dipergunakannya tersebut. Dengan memahami
posisinya tersebut, peneliti dapat menempatkan penelitiannya dan
pemikiran-pemikirannya pada posisi yang tepat dan memiliki alasan-alasan atas
setiap pertanyaan yang berkaitan dengan posisinya tersebut. Bagian ini adalah
kajian tentang paradigma penelitian yang menaungi atau menjadi landasan
pemikiran metoda penelitian studi kasus. Adapun jenis-jenis paradigma
penelitian yang digunakan adalah pada 2 (dua) paradigma penelitian besar,
seperti yang telah dijelaskan pada bagian penelitian kualitatif di depan,
yaitu: 1) paradigma positivitistik, 2) paradigma non-positistivistik
atau postpositivistik. Lebih jauh, di dalam uraian yang telah dijelaskan di
depan, paradigma postpositivistik dapat dibagi lagi menjadi 2 (dua) kelompok,
yaitu paradigma interpretif atau konstruktivistik, dan teori kritis.
Jika dilihat
dari karakteristik utamanya yang menggunakan pendekatan penelitian kualitatif,
maka dapat disimpulkan bahwa penelitian studi kasus berdasarkan pada paradigma
penelitian postpositivistik. Pada dasarnya, paradigma postpositivistik memandang
bahwa penelitian merupakan upaya untuk membangun pengetahuan langsung pada
sumbernya. Oleh karena itu, peneliti pengikut paradigma ini memulai
pemikirannya selalu berdasarkan dari bukti, fakta atau data sebagai awalan
untuk membangun atau mengembangkan pengetahuan. Ciri utama paradigma ini adalah
memandang bukti, fakta atau data sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, yang
memiliki latar belakang atau makna tertentu yang sangat kontekstual dengan
lingkungannya. Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh dari hasil
penelitian bersifat orisinil. Dalam penerapan praktisnya, para peneliti
penganut paradigma ini berupaya menghindari penggunaan teori, karena teori
dipandang dapat membelenggu upaya untuk mengeksplorasi orisinalitas dari hasil
penelitian.
Pada umumnya,
penelitian yang berdasarkan paradigma postpositivistik bersifat induktif. Data
yang diperoleh merupakan data yang otentik dan aktual, tidak dipengaruhi oleh grand
theories. Ungkapan dan penjelasan yang disampaikan oleh informan atau
partisipan yang dilibatkan di dalam penelitian merupakan wujud ekspresi yang
keluar dari pengalaman dan persepsi mereka terhadap konteks yang diteliti.
Konsekuensinya, berbeda dengan penelitian positivistik yang terikat dengan grand
theories, temuan-temuan penelitian berbasis paradigma postpositivistik ini
bersifat spesifik, sangat sesuai dengan konteksnya. Dengan kata lain, kajian
penafsiran data, termasuk penarikan kesimpulan dalam penelitian interpretif
bersifat idiografik, yaitu dalam arti keberlakuannya bersifat lokal dan khusus,
yang muncul dari informasi-informasi yang diperoleh secara otentik dan aktual.
Tetapi pada
berbagai uraian yang dijelaskan oleh para ahli, seperti yang dijelaskan oleh
Yin (2003a, 2009), Creswell (2007), VanWynsberghe dan Khan (2007), Eckstein
(2002), dan Lincoln dan Guba (2000), penelitian studi kasus dapat menggunakan
teori. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian studi kasus juga bersifat
positivistik. Penggunaan teori merupakan salah satu ciri penelitian yang
menggunakan paradigma positivistik. Paradigma positivistik itu sendiri
memandang bahwa realita ada, terkait dan
dikendalikan oleh hukum alam, dan terpisah dari diri manusia. Oleh karena itu,
paradigma ini menolak bentuk-bentuk interpretasi manusia ke dalam fakta, karena
dapat menghilangkan kemurnian realita yang terkandung di dalam fakta. Peneliti
berperan hanya untuk mengungkapkan realita tersebut senyatanya, dan tidak
diperkenankan menginterpretasikannya menurut kehendaknya sendiri. Dengan kata
lain, penelitian ini harus bersifat bebas dari campur tangan penelitinya,
sehingga hasilnya bersifat obyektif dan bebas nilai. Karena mengungkapkan
realita dari hukum-hukum alam, analisis dalam penelitian positivistik selalu
mengkaitkan dengan hukum-hukum alam yang direpresentasikan dalam wujud grand
theories. Mengingat bahwa realita atau kebenaran terikat dengan hukum alam,
penelitian dilakukan untuk menggalinya berdasarkan teori atau kebenaran yang
telah diakui dan mapan. Teori-teori tersebut dipergunakan untuk membangun
prediksi konsep atau teori tentang kebenaran yang diverifikasi atau diuji teori
melalui penelitian. Dalam prakteknya, prediksi tersebut berupa hipotesis yang
dibangun dari teori, dan diuji melalui serangkaian instrumen penelitian yang
terstruktur.
Berdasarkan
karakteristiknya yang demikian, secara khusus, VanWynsberghe dan Khan (2007)
menjelaskan bahwa posisi penelitian studi kasus adalah unik, ia tidak sekedar
metoda penelitian, rancangan penelitian atau metodologi. Mereka lalu
menempatkan posisi dan peran penelitian studi kasus sebagai transparadigmatik
heuristik dan transdisipliner yang berupaya menggambarkan secara
detail dan terperinci terhadap bukti-bukti fenomena yang telah dikumpulkan,
dalam berbagai bentuknya, seperti seperti peristiwa, konsep, program, dan
proses. Hal ini tampaknya sesuai dengan pendapat Stake (2005) yang menyatakan
bahwa keunikan penelitian studi kasus adalah bukan pada metoda atau perancangan
penelitiannya, tetapi justru pada pemilihan kasus yang ditetapkan sebagai obyek
penelitian. Karakteristik kasus inilah yang menentukan di dalam penentuan
strategi, metoda dan rancangan penelitiannya.
Menurut
VanWynsberghe dan Khan (2007), posisi penelitian studi kasus disebut transparadigmatik,
karena relevan terhadap semua paradigma penelitian dan bahkan dapat terlepas
dari paradigma penelitian seseorang, baik positivistik maupun postpositivistik,
yang terdiri dari teori kritis maupun konstruktivistik atau interpretif.
Transparadigmatik itu sendiri menggambarkan adanya cara pandang lintas
paradigma. Cara pandang ini muncul karena adanya keinginan untuk tidak terikat
kepada salah satu paradigma, tetapi lebih menekankan pada substansi, obyek atau
target yang hendak dikaji. Dengan cara yang demikian, kajian dapat dilakukan
dengan lebih leluasa, menyesuaikan dengan karakteristik sunstansi, obyek atau
targetnya tersebut, serta kemampuan, pengalaman dan pengetahuan pengkaji atau
penelitinya. Dalam kondisi tertentu, penggunaan transparadigmatik juga
dimaksudkan untuk membangun dan mengembangkan paradigma campuran dari paradigma
yang ada, dan bahkan paradigma yang sama sekali baru.
Sementara itu,
penelitian studi kasus dapat disebut bersifat transdisipliner, karena
penelitian studi kasus tidak memiliki orientasi pada disiplin tertentu secara
khusus, sehingga dapat digunakan berbagai disiplin, seperti ilmu sosial, ilmu
pengetahuan, ilmu pengetahuan, bisnis, seni rupa, dan penelitian humaniora.
Karakteristik yang demikian juga menggambarkan bahwa penelitian studi kasus
lebih menekankan pada ‘kasus’ sebagai obyek penelitian (Stake, 2005), dan tidak
terikat pada disiplin ilmu yang menaungi penelitian. Dengan kata lain, suatu
‘kasus’ dapat diteliti dari berbagai sudut pandang disiplin ilmu. Untuk lebih
jelasnya, perhatikan pernyataan mereka berikut ini:
We also propose a more precise and
encompassing definition that reconciles various definitions of case study
research: case study is a transparadigmatic and transdisciplinary heuristic
that involves the careful delineation of the phenomena for which evidence is
being collected (event, concept, program, process, etc.). By transparadigmatic,
we mean that case study is relevant regardless of one’s research paradigm
(i.e., postpositivism, critical theory, constructivism). By transdisciplinary,
we are suggesting that case study has no particular disciplinary orientation;
that is, it can be used in social science, science, applied science, business,
fine arts, and humanities research, for example (VanWynsberghe
dan Khan, 2007, 1).
Pendapat VanWynsberghe dan Khan (2007) tersebut berdasarkan kenyataan
munculnya perdebatan tentang karakteristik dan posisi penelitian studi kasus
yang dijelaskan oleh para ahli, terutama tentang adanya 5 (lima) kesalahpahaman
tentang penelitian studi kasus yang dijelaskan oleh Flyvbjerg (2001) yang telah
menjadi mitos di dalam penelitian studi kasus. Berdasarkan kajian mereka atas
artikel Flyvbjerg tersebut, VanWynsberghe dan Khan meyakini bahwa posisi
penelitian studi kasus adalah unik, tidak sekedar metoda penelitian, rancangan
penelitian atau metodologi.
Penelitian studi
kasus dapat dilakukan dalam paradigma positivistik (VanWynsberghe dan Khan, 2007). Dalam paradigma ini, peneliti
menemukan dan meneliti kasus-kasus, serta dapat menghasilkan dan menguji
hipotesis tentang dunia nyata yang mereka teliti. Hipotesis tersebut dibangun
dengan menggunakan logika deduktif. Teori dan pengetahuan yang telah berkembang
sebelumnya dikaji oleh peneliti untuk membangun dan mengembangkan
pengetahuannnya sendiri tentang substansi penelitiannya. Pengetahuannya
tersebut dipergunakannya sebagai landasan untuk menetapkan hipotesis. Hipotesis
ini kemudian diuji dengan menggunakan bukti empiris dari data-data hasil
pengumpulan datanya di lapangan.
Secara khusus,
di dalam banyak penelitian studi kasus, teori dibutuh untuk membangun dan mengembangkan
proposisi penelitian. Proposisi penelitian bersifat seperti hipotesis, tetapi
lebih bersifat komprehensif karena tidak hanya merupakan jawaban sementara atas
pertanyaan penelitian, tetapi juga konsep diskripsi kasus yang diteliti secara
menyeluruh berdasarkan pengetahuan atau teori yang ada. Dalam hal ini, teori
untuk membangun proposisi di dalam penelitian studi kasus dibutuhkan apabila
peneliti memandang ‘kasus’ yang ditelitinya memiliki posisi yang penting di
dalam pengembangan pengetahuan atau teori yang telah ada. Dengan kata lain,
kebenaran yang terkandung di dalam ‘kasus’ tersebut dapat mempengaruhi
kebenaran yang ada di dalam teori-teori yang telah diakui kebenarannya.
Penelitian studi
kasus juga dapat dilakukan dalam paradigma interpretif (VanWynsberghe dan Khan, 2007). Paradigma interpretif merupakan
paradigma yang memandang bahwa kebenaran, realitas atau kehidupan nyata tidak
memiliki satu sisi, tetapi dapat memiliki banyak sisi, sehingga dapat dikaji
dari berbagai sudut pandang. Paradigma ini menolak adanya anggapan bahwa
kebenaran atau pengetahuan yang telah ada harus selalu diverifikasi, sehingga
kelak suatu kebenaran yang tunggal dapat tercapai dan terbangun. Paradigma ini
memandang bahwa realita dunia ini terdiri dari banyak kebenaran yang saling
terkait. Untuk mengungkapkan kebenaran-kebenaran tersebut dan keterkaitannya,
manusia harus memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan atau menafsirkan
setiap fenomena yang dapat ditangkap oleh inderawinya.
Penelitian studi
kasus menggunakan paradigma interpretif apabila penelitinya memandang obyek
yang ditelitinya memiliki keunikan tersendiri dan mengandung kebenaran yang
orisinil, sehingga memposisikannya sebagai kasus yang ditelitinya sebagai
‘kasus’. Keunikan tersebut seringkali muncul karena keterikatan obyek tersebut
terhadap konteks lingkungannya, seperti terhadap ruang dan waktu terjadinya
kasus tersebut, sehingga dipandang tidak atau jarang terjadi dan terdapat di
tempat dan waktu yang lain. Hal ini menyebabkan metoda yang dipergunakan di
dalam penelitian studi kasus yang demikian, pada umumnya bersifat alamiah,
karena sangat terikat pada konteks yang sebenarnya. Akibatnya, kebenaran atau
pengetahuan yang dihasilkan dari penelitian yang demikian pada umumnya bersifat
lokalitas dan kontekstual.
VanWynsberghe
dan Khan (2007) juga memandang bahwa penelitian studi kasus juga dapat
dipergunakan pada penelitian yang menggunakan paradigma teori krisis. Seperti
telah dijelaskan di depan, paradigma ini memandang bahwa teori-teori yang
mengandung kebenaran-kebenaran tersebut tidak selamanya mutlak benar, karena
pada kenyataan praktisnya, kebenaran-kebenaran tersebut berbeda dengan
kehidupan nyata. Dengan kata lain, mereka selalu memandang bahwa teori-teori
yang dibangun oleh para pakar harus selalu sesuai kenyataan yang sebenarnya,
sehingga dapat selalu bermanfaat. Secara singkat dapat dikatakan bahwa mereka
selalu berupaya mengkaji kesesuaian antara ontologi, epistemologi dan aksiologi
dari teori-teori yang ada. Oleh karena itu, para penganut teori kritis
menganggap perlunya selalu mengkritisi grand theories yang telah diakui
kebenarannya, agar teori-teori tersebut selalu dapat sesuai dengan perkembangan
jaman, sehingga dapat selalu memberikan manfaat di dalam penyelesaian
permasalahan-permasalahan sosial manusia.
Peneliti studi
kasus yang menggunakan paradigma teori kritis menempatkan kasus, baik tunggal
maupun jamak, yang ditelitinya sebagai fakta yang dapat membuktikan adanya
ketidaksesuaian antara kebenaran yang dianut selama ini dengan kehidupan nyata
yang sebenarnya. Kebenaran-kebenaran yang berhasil digali dari kasus yang
diteliti dipergunakan untuk mengkritisi kebenaran-kebanaran yang terkandung
pada teori-teori yang selama ini diakui kebenarannya. Untuk melakukan
penelitian yang demikian, peneliti harus memiliki kemampuan untuk
mengkonstruksikan karakteristik dari kasus yang ditelitinya menjadi konsep atau
teori yang dapat menunjukkan adanya ketidaksesuaian, kelemahan atau bahkan
ketidakakuratan dari teori yang selama ini diakui kebenarannya.
Jika dilihat
dari kesejarahan perkembangan munculnya penelitian studi kasus, Johansson
(2003) melalui artikel yang diterbitkan melalui websitenya, menyatakan bahwa
paradigma penelitian yang menaungi penelitian studi kasus pada era perkembangan
yang pertama adalah paradigma hermeunitik (hermeunitics). Paradigma
hermenitik menekankan pada upaya manusia untuk mengiterpretasikan segala
sesuatu yang ada di dunia dengan kemampuannya sendiri. Akar kata ‘hermeneutik’
dalam Bahasa Yunani dalah ‘hermeneuein’, yang berarti menafsirkan, yang dalam
bentuk kata bendanya ‘hermeneid’ yang berarti tafsir, penafsiran atau
interpretasi. Dalam perwujudan praktisnya, metoda hermeneutik adalah cara-cara
untuk menafsirkan simbol-simbol yang terwujud dalam teks atau bentuk-bentuk
lainnya. Oleh karena itu, secara singkat dapat dikatakan bahwa paradigma
hermeunitik adalah ragam lagi dari penamaan untuk paradigma postpositivistik,
konstruktivistik atau interpretif. Melalui paradigma hermeunitik, generasi
perkembangan pertama metoda penelitian studi kasus terwujud pada penelitian
antropologis atau penelitian lapangan.
Pada
perkembangan selanjutnya, yaitu pada perkembangan generasi kedua, pada era
tahun 1990-an, 2000-an, hingga sekarang, penelitian studi kasus terbagi menjadi
2 (dua) aliran dengan paradigma yang berbeda. Aliran pertama adalah penelitian
studi kasus yang tetap berdasarkan pada paradigma hermeunitik atau
postpositivistik, yang didorong oleh pendapat Stake, Patton dan Flyvbjerg. Jika
dikembangkan lagi, termasuk diikuti oleh Creswell dan Dooley. Sedangkan aliran
yang kedua adalah penelitian studi kasus yang dikembangkan dengan menggunakan
paradigma positivistik, yang dikembangkan oleh Yin. Untuk lebih jelasnya,
perhatikan kutipan gambar berikut ini:
Jenis-jenis Penelitian Studi Kasus
Beberapa pakar
mengemukakan jenis-jenis penelitian studi kasus dalam penjelasan yang
berbeda-beda. Perbedaan penentuan jenis tersebut disebabkan oleh cara pandang
masing-masing pakar terhadap posisi dan kedudukan kasus di dalam penelitian.
Meskipun demikian, secara umum, terdapat pandangan yang sama di antara mereka,
yaitu memposisikan dan memperlakukan obyek penelitian sebagai kasus.
Stake (2005)
membagi penelitian studi kasus berdasarkan karakteristik dan fungsi kasus di
dalam penelitian. Stake sangat yakin bahwa kasus bukanlah sekedar obyek biasa,
tetapi kasus diteliti karena karakteristiknya yang khas. Hal ini sesuai dengan
penjelasannya yang menyatakan bahwa penelitian studi kasus bukanlah sekedar
metoda penelitian, tetapi adalah tentang bagaimana memilih kasus yang tepat
untuk diteliti. Berdasarkan hal tersebut, Stake (2005) membagi penelitian studi
kasus menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:
1. Penelitian
studi kasus mendalam
Penelitian
studi kasus mendalam (intrinsic case study) adalah penelitian studi
kasus yang dilakukan dengan maksud untuk yang pertama kali dan terakhir kali
meneliti tentang suatu kasus yang khusus. Hal ini dilakukan tidak dengan maksud
untuk menempatkan kasus tersebut mewakili dari kasus lain, tetapi lebih kepada
kekhususan dan keunikannya. Pada awalnya, penelitianya mungkin tidak bermaksud
untuk membangun teori dari penelitiannya, tetapi kelak mungkin ia akan dapat
membangun teori apabila kasus tersebut memang menjadi satu-satunya di dunia.
Pada umumnya, para peneliti studi kasus mendalam ini bermaksud untuk meneliti
atau menggali hal-hal yang mendasar yang berada dibalik kasus tersebut. Kata intrinsic
itu sendiri, menurut Kamus Merriam-Webster adalah sebagai berikut:
1
a : belonging to the essential nature or constitution of a thing *the intrinsic
worth of a gem* *the intrinsic brightness of a star* b : being or relating to a
semiconductor in which the concentration of charge carriers is characteristic
of the material itself instead of the content of any impurities it contains
2
a : originating or due to causes within a body, organ, or part *an intrinsic
metabolic disease* b : originating and included wholly within an organ or part
*intrinsic muscles*
Pengertian
tentang intrinsic di atas menunjukkan bahwa penelitian studi kasus
mendalam bermaksud menggali hal yang mendasar (esensi) yang menyebabkan
terjadinya atau keberadaan dari suatu kasus.
2.
Penelitian studi kasus intrumental
Penelitian
studi kasus intrumental (instrumental case study) adalah penelitian
studi kasus yang dilakukan dengan meneliti kasus untuk memberikan pemahaman
mendalam atau menjelaskan kembali suatu proses generalisasi. Dengan kata lain,
kasus diposisikan sebagai sarana (instrumen) untuk menunjukkan penjelasan yang mendalam
dan pemahaman tentang sesuatu yang lain dari yang biasa dijelaskan. Melalui
kasus yang ditelitinya, peneliti bermaksud untuk menunjukkan adanya sesuatu
yang khas yang dapat dipelajari dari suatu kasus tersebut, yang berbeda dari
penjelasan yang diperoleh dari obyek-obyek lainnya.
3.
Penelitian studi kasus jamak
Penelitian
studi kasus jamak (collective or mutiple case study) adalah penelitian
studi kasus yang menggunakan jumlah kasus yang banyak. Penelitian studi kasus
ini adalah pengembangan dari penelitian studi kasus instrmental, dengan
menggunakan kasus yang banyak. Asumsi dari penggunaan kasus yang banyak adalah
bahwa kasus-kasus yang digunakan di dalam penelitian studi kasus jamak mungkin
secara individual tidak dapat menggambarkan karakteristik umumnya.
Masing-masing kasus mungkin menunjukkan sesuatu yang sama atau berbeda-beda.
Tetapi apabila dikaji secara bersama-sama atau secara kolektif, dapat
menjelaskan adanya benang merah di antara mereka, untuk menjelaskan
karakteristik umumnya.
Kasus-kasus
di dalam penelitian studi kasus jamak dipilih karena dipandang bahwa dengan
memahami mereka secara kolektif, dapat meningkatkan pemahaman terhadap sesuatu,
dan bahkan dapat memperbaiki suatu teori dengan menunjukkan fakta dan bukti
yang lebih banyak. Stake (2005) menunjukkan contoh-contoh penelitian studi
kasus kolektif adalah dengan menunjuk pada buku-buku kumpulan dari
artikel-artikel yang membahas suatu isu yang sama. Di dalam buku tersebut,
editornya harus mampu menunjukkan benang merah dari masing-masing artikel,
sehingga pembacanya akan mendapatkan pemahaman menyeluruh yang mendalam tentang
isu tersebut berdasarkan kajian yang dilakukan pada masing-masing artikel.
Sementara
itu, Creswell (2007) menyatakan bahwa jenis-jenis penelitian studi kasus ditentukan
berdasarkan batasan dari kasus, seperti seorang individu, beberapa individu,
sekelompok, sebuah program atau sebuah kegiatan. Disamping itu, jenis-jenis
tersebut dapat ditentukan berdasarkan penentuan maksud dari analisis kasusnya.
Penjelasan Creswell tentang jenis-jenis penelitian studi kasus secara umum
mirip dengan Stake (2005), karena memang berpedoman kepada penjelasan Stake.
Berdasarkan maksud analisis kasusnya tersebut, Creswell (2007), membagi
penelitian studi kasus dapat dibagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:
1.
Penelitian studi kasus intrumental tunggal
Penelitian
studi kasus instrumental tunggal (single instrumental case study) adalah
penelitian studi kasus yang dilakukan dengan menggunakan sebuah kasus untuk
menggambarkan suatu isu atau perhatian. Pada penelitian ini, penelitinya
memperhatikan dan mengkaji suatu isu yang menarik perhatiannya, dan menggunakan
sebuah kasus sebagai sarana (instrumen) untuk menggambarkannya secara
terperinci.
2.
Penelitian studi kasus jamak
Penelitian
studi kasus jamak (collective or multiple case study) adalah penelitian
studi kasus yang menggunakan banyak (lebih dari satu) isu atau kasus di dalam
satu penelitian. Penelitian ini dapat terfokus pada hanya satu isu atau
perhatian dan memenfaatkan banyak kasus untuk menjelaskannya. Disamping itu,
penelitian ini juga dapat hanya menggunakan satu kasus (lokasi), tetapi dengan
banyak isu atau perhatian yang diteliti. Pada akhirnya, penelitian ini juga
dapat bersifat sangat kompleks, karena terfokus pada banyak isu atau perhatian
dan menggunakan banyak kasus untuk menjelaskannya. Yin (2003a, 2009) mengatakan
bahwa untuk melakukan penelitian studi kasus jamak ini, dapat menggunakan
penelitian replikasi yang logis, yaitu dengan menggunakan suatu prosedur yang
sama yang diberlakukan untuk setiap isu atau kasus. Peneliti kemudian melakukan
generalisasi pada setiap isu atau kasus dan memperbandingkannya pada akhir
kajian.
3.
Penelitian studi kasus mendalam
Penelitian
studi kasus mendalam (intrinsic case study) adalah penelitian yang
dilakukan pada suatu kasus yang memiliki kekhasan dan keunikan yang tinggi.
Fokus penelitian ini adalah pada kasus itu sendiri, baik sebagai lokasi,
program, kejadian atau kegiatan. Penelitian studi kasus mendalam ini mirip
dengan penelitian naratif yang telah dijelaskan di depan, tetapi memiliki
prosedur kajian yang lebih terperinci kepada kasus dan kaitannya dengan
lingkungan disekitarnya secara terintegrasi dan apa adanya. Lebih khusus lagi,
penelitian studi kasus mendalam merupakan penelitian yang sangat terikat pada
konteksnya, atau dengan kata lain sangat terikat pada lokusnya (site-case).
Pendapat
Stake (2005) dan Creswell (2007) di atas jika digambarkan secara diagramatis,
dapat dilihat pada gambar di bawah. Pada gambar tersebut juga dillustrasikan
dengan contoh judul-judul yang menggambarkan isi dari masing-masing jenis.
Contoh penelitian studi kasus mendalam yang diberikan dengan judul ‘Kemacetan
Lalu-lintas di Kawasan Malioboro, Yogyakarta’, menunjukan adanya keterpaduan
antara kasus dengan lokasi penelitiannya. Sementara itu, contoh untuk
penelitian studi kasus instrumental tunggal yang berjudul ‘Kemacetan Lalu
Lintas di Yogyakarta, Studi Kasus: Kawasan Malioboro’, dan contoh jamaknya
adalah ‘Kemacetan Lalu Lintas di Yogyakarta, Studi Kasus: Kawasan Gejayan dan
Malioboro’, menunjukkan adanya penggunaan istilah ‘studi kasus’. Penggunaan
istilah tersebut secara khusus untuk menunjukkan bahwa kasus yang dipergunakan
bersifat sebagai sarana (instrumen) pembukti atas konsep atau teori peneliti.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar berikut ini:
Sementara itu, Yin (2003a, 2009) membagi penelitian studi kasus secara umum
menjadi 2 (dua) jenis, yaitu penelitian studi kasus dengan menggunakan kasus
tunggal dan jamak/ banyak. Disamping itu, ia juga mengelompokkannya berdasarkan
jumlah unit analisisnya, yaitu penelitian studi kasus holistik (holistic)
yang menggunakan satu unit analisis dan penelitian studi kasus terpancang (embedded)
yang menggunakan beberapa atau banyak unit analisis. Penelitian studi kasus
disebut terpancang (embedded), karena terikat (terpancang) pada
unit-unit analisisnya yang telah ditentukan. Unit analisis itu sendiri
dibutuhkan untuk lebih memfokuskan penelitian pada maksud dan tujuannya.
Penentuan unit analisis ditentukan melalui kajian teori. Sementara itu, pada
penelitian studi kasus holistik, penelitian dilakukan lebih bebas dan terfokus
pada kasus yang diteliti dan tidak terikat pada unit analisis, karena unit
analisisnya menyatu dalam kasusnya itu sendiri.
Jika dikaitkan antara kedua cara pengelompokkan tersebut, maka jenis-jenis
penelitian studi kasus dapat disusun ke alam suatu matriks 2 x 2. Dengan
demikian, menurut Yin (2003a, 2009), penelitian studi kasus dapat terdiri dari
4 (empat) jenis.
1. Penelitian studi kasus tunggal holistik (jenis 1 dan 2)
Penelitian studi kasus tunggal holistik (holistic
single-case study) adalah penelitian yang menempatkan sebuah kasus sebagai
fokus dari penelitian. Yin (2009) menjelaskan bahwa terdapat 5 (lima) alasan
untuk menggunakan hanya satu kasus di dalam penelitian studi kasus, yaitu:
a) Kasus yang dipilih mampu menjadi bukti dari teori yang
telah dibangun dengan baik. Teori yang dibangun memiliki proposisi yang jelas,
yang sesuai dengan kasus tunggal yang dipilih sehingga dapat dipergunakan untuk
membuktikan kebenarannya.
b) Kasus yang dipilih merupakan kasus yang ekstrim atau
unik. Kasus tersebut dapat berupa keadaan, kejadian, program atau kegiatan yang
jarang terjadi, dan bahkan mungkin satu-satunya di dunia, sehingga layak untuk
diteliti sebagai suatu kasus.
c) Kasus yang dipilih merupakan kasus tipikal atau
perwakilan dari kasus lain yang sama. Pada dasarnya, terdapat banyak kasus yang
sama dengan kasus yang dipilih, tetapi dengan maksud untuk lebih menghemat
waktu dan biaya, penelitian dapat dilakukan hanya pada satu kasus saja, yang
dipandang mampu menjadi representatif dari kasus lainnya.
d) Kasus dipilih karena merupakan kesempatan khusus bagi
penelitinya. Kesempatan tersebut merupakan jalan yang memungkinkan peneliti
untuk dapat meneliti kasus tersebut. Tanpa adanya kesempatan tersebut, peneliti
mungkin tidak memiliki akses untuk melakukan penelitian terhadap kasus
tersebut.
e) Kasus dipilih karena bersifat longitudinal, yaitu
terjadi dalam dua atau lebih pada waktu yang berlainan. Kasus yang demikian
sagat tepat untuk penelitian yang dimaksudkan untuk membuktikan terjadinya
perubahan pada suatu kasus akibat berjalannya waktu.
Sementara itu, perbedaan antara penelitian studi kasus
holistik (jenis 1) dan terpancang (jenis 2) adalah pada jumlah unit analisis
yang digunakan. Pada jenis yang pertama, jumlah unit analisis yang digunakan
pada umumnya hanya satu atau bahkan sama sekali unit analisisnya tidak dapat
dijelaskan, karena terintegrasi dengan kasusnya. Dalam penelitian studi kasus
yang demikian, unit analisis tidak dapat ditentukan karena kasus tersebut juga
sekaligus merupakan unit analisis dari penelitian.
Sedangkan jenis yang kedua, penelitian studi kasus
terpancang memiliki unit analisis lebih dari satu. Hal ini dapat terjadi karena
didasari oleh hasil kajian teori yang menuntut adanya lebih dari satu unit
analisis. Tuntutan penggunaan lebih dari satu unit analisis biasanya disebabkan
oleh tujuan penelitian yang ingin menjelaskan hubungan secara komprehensif dan
detail setiap bagian dari kasus secara lebih mendalam. Hal yang perlu
diperhatikan adalah bahwa semakin banyak jenis unit analisis yang digunakan,
sifat alamiah penelitian akan semakin kabur, karena cenderung menjadi
penelitian yang terikat pada keberadaan unit analisisnya.
2. Penelitian studi kasus jamak
(jenis 3 dan 4)
Pada dasarnya, penelitian studi kasus jamak adalah
penelitian yang menggunakan lebih dari satu kasus. Penggunaan jumlah kasus
lebih dari satu pada penelitian studi kasus pada umumnya dilakukan untuk
mendapatkan data yang lebih detail, sehingga diskripsi hasil penelitian menjadi
semakin jelas dan terperinci. Hal ini juga didorong oleh keinginan untuk
mengeneralisasi konsep atau teori yang dihasilkan. Dengan kata lain, penggunaan
jumlah kasus yang banyak dimaksudkan untuk menutupi kelemahan yang terdapat
pada penggunaan kasus tunggal, yang dianggap tidak dapat digeneralisasikan.
Proses analisis pada penelitian studi kasus jamak berbeda
dengan penelitian kuantitatif yang menggunakan jumlah responden yang banyak.
Pada peneltian kuantitatif, data dari responden dapat diolah secara
terintegrasi dengan formula tertentu, sehingga menghasilkan satu kesatuan
konsep dalam bentuk model hubungan antar data. Di dalam penelitian studi kasus
jamak, Yin (2003a, 2009) menyarankan menggunakan logika replikasi sebagai
pendekatan di dalam proses analisisnya. Pada proses ini, setiap kasus harus
mengalami prosedur penelitian yang sama, hingga menghasilkan hasil
penelitiannya masing-masing. Selanjutnya, hasil dari masing-masing penelitian
di perbandingkan, untuk menentukan kesamaan dan perbedaannya. Hasilnya
dipergunakan untuk menjelaskan pertanyaan penelitian pada umumnya dan khususnya
pencapaian atas maksud dan tujuan penelitian.
Jika dibuatkan dalam suatu diagram, jenis-jenis
penelitian studi kasus menurut Yin (2003a, 2009) in dapat dilihat pada gambar
diagram pada halaman berikut. Pada diagram tersebut juga dapat dilihat contoh
judul-judul penelitian yang menggambarkan isi dari masing-masing jenis. Contoh
penelitian studi kasus holistik tunggal yang diberikan dengan judul ‘Kemacetan
Lalu-lintas di Kawasan Malioboro, Yogyakarta’, dan jamaknya adalah ‘Kemacetan
Lalu-lintas di Kawasan Gejayan dan Malioboro, Yogyakarta’, menunjukan adanya
keterpaduan antara kasus dengan lokasi penelitiannya sebagai suatu penelitian
yang holistik. Sementara itu, contoh untuk penelitian studi kasus terpancang
tunggal yang berjudul ‘Pencampuran Moda Transportasi Sebagai Penyebab
Kemacetan, Studi Kasus: Kawasan Malioboro, Yogkyakarta’, dan contoh jamaknya
adalah ‘Pencampuran Moda Transportasi Sebagai Penyebab Kemacetan, Studi Kasus:
Kawasan Malioboro dan Gejayan, Yogkyakarta’, menunjukkan adanya penggunaan
istilah ‘studi kasus’. Penggunaan istilah tersebut secara khusus untuk
menunjukkan bahwa kasus yang dipergunakan bersifat sebagai sarana (instrumen)
pembukti atas konsep atau teori peneliti. Sementara judul utamanya ‘Pencampuran
Moda Transportasi Sebagai Penyebab Kemacetan’ menggambarkan unit analisis yang
mengikat (memancang) fokus penelitiannya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan
gambar berikut ini:
Penjelasan penelitian studi kasus tunggal holistik menurut Yin (2003a,
2009) di atas mirip dengan jenis penelitian studi kasus mendalam yang
dijelaskan oleh Stake (2005) dan Crewell (2007). Jenis penelitian ini pada
dasarnya menempatkan kasus sebagai obyek penelitian yang perlu diteliti untuk
mengungkapkan esensi mendalam yang terdapat di balik kasus, tanpa terikat pada
unit analisis, karena unit analisis penelitian ini menyatu dengan kasusnya.
Sementara itu, penelitian kasus jamak menurut Yin (2003a, 2009), khususnya
yang bersifat holistik mirip dengan penjelasan penelitian studi kasus jamak
yang dijelaskan oleh Stake (2005) dan Crewell (2007). Yang menarik adalah
adanya penelitian studi kasus terpancang yang dijelaskan oleh Yin (2003a,
2009), yang tidak dijelaskan oleh Stake (2005) dan Crewell (2007). Keberadaan
penelitian studi kasus terpancang ini sebenarnya menunjukkan bahwa penelitian
studi kasus dapat diarahkan pada fokus tertentu, sesuai dengan maksud dan
tujuan penelitian, yaitu dengan menggunakan unit analisis. Jadi, unit analisis
sebenarnya merupakan bentuk upaya dari pengarahan penelitian studi kasus
tersebut. Unit analisis itu ditentukan melalui kajian teori. Dengan demikian,
penelitian studi kasus terpancang merupakan penelitian studi kasus yang
menggunakan paradigma positivistik.
Tujuan Penelitian Studi Kasus
Seperti
halnya pada tujuan penelitian lainnya pada umumnya, pada dasarnya peneliti yang
menggunakan metoda penelitian studi kasus bertujuan untuk memahami obyek yang
ditelitinya. Meskipun demikian, berbeda dengan penelitian yang lain, penelitian
studi kasus bertujuan secara khusus menjelaskan dan memahami obyek yang
ditelitinya secara khusus sebagai suatu ‘kasus’. Berkaitan dengan hal tersebut,
Yin (2003a, 2009) menyatakan bahwa tujuan penggunaan penelitian studi kasus
adalah tidak sekedar untuk menjelaskan seperti apa obyek yang diteliti, tetapi
untuk menjelaskan bagaimana keberadaan dan mengapa kasus tersebut dapat
terjadi. Dengan kata lain, penelitian studi kasus bukan sekedar menjawab
pertanyaan penelitian tentang ‘apa’ (what) obyek yang diteliti, tetapi
lebih menyeluruh dan komprehensif lagi adalah tentang ‘bagaimana’ (how)
dan ‘mengapa’ (why) obtek tersebut terjadi dan terbentuk sebagai dan
dapat dipandang sebagai suatu kasus. Sementara itu, strategi atau metoda
penelitian lain cenderung menjawab pertanyaan siapa (who), apa (what),
dimana (where), berapa (how many) dan seberapa besar (how much).
Sementara itu, Stake (2005) menyatakan bahwa penelitian studi kasus bertujuan untuk mengungkapkan kekhasan atau keunikan karakteristik yang terdapat di dalam kasus yang diteliti. Kasus itu sendiri merupakan penyebab dilakukannya penelitian studi kasus, oleh karena itu, tujuan dan fokus utama dari penelitian studi kasus adalah pada kasus yang menjadi obyek penelitian. Untuk itu, segala sesuatu yang berkaitan dengan kasus, seperti sifat alamiah kasus, kegiatan, fungsi, kesejarahan, kondisi lingkungan fisik kasus, dan berbagai hal lain yang berkaitan dan mempengaruhi kasus harus diteliti, agar tujuan untuk menjelaskan dan memahami keberadaan kasus tersebut dapat tercapai secara menyeluruh dan komprehensif.
Secara khusus, berkaitan dengan karakteristik kasus sebagai obyek penelitian, VanWynsberghe dan Khan (2007) menjelaskan bahwa tujuan penelitian studi kasus adalah untuk memberikan kepada pembaca laporannya tentang ‘rasanya berada dan terlibat di dalam suatu kejadian’, dengan menyediakan secara sangat terperinci analisis kontekstual tentang kejadian tersebut. Untuk itu, peneliti studi kasus harus secara hati-hati menggambarkan kejadian tersebut dengan memberikan pengertian dan hal-hal yang lainnya dan menguraikan kekhususan dari kejadian tersebut. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:
Sementara itu, Stake (2005) menyatakan bahwa penelitian studi kasus bertujuan untuk mengungkapkan kekhasan atau keunikan karakteristik yang terdapat di dalam kasus yang diteliti. Kasus itu sendiri merupakan penyebab dilakukannya penelitian studi kasus, oleh karena itu, tujuan dan fokus utama dari penelitian studi kasus adalah pada kasus yang menjadi obyek penelitian. Untuk itu, segala sesuatu yang berkaitan dengan kasus, seperti sifat alamiah kasus, kegiatan, fungsi, kesejarahan, kondisi lingkungan fisik kasus, dan berbagai hal lain yang berkaitan dan mempengaruhi kasus harus diteliti, agar tujuan untuk menjelaskan dan memahami keberadaan kasus tersebut dapat tercapai secara menyeluruh dan komprehensif.
Secara khusus, berkaitan dengan karakteristik kasus sebagai obyek penelitian, VanWynsberghe dan Khan (2007) menjelaskan bahwa tujuan penelitian studi kasus adalah untuk memberikan kepada pembaca laporannya tentang ‘rasanya berada dan terlibat di dalam suatu kejadian’, dengan menyediakan secara sangat terperinci analisis kontekstual tentang kejadian tersebut. Untuk itu, peneliti studi kasus harus secara hati-hati menggambarkan kejadian tersebut dengan memberikan pengertian dan hal-hal yang lainnya dan menguraikan kekhususan dari kejadian tersebut. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:
Case
studies aim to give the reader a sense of “being there” by providing a highly
detailed, contextualized analysis of an “an instance in action”. The researcher
carefully delineates the “instance,” defining it in general terms and teasing
out its particularities (VanWynsberghe dan Khan, 2007, 4).
Sementara
itu, Doodley (2005) menyatakan bahwa penelitian studi kasus merupakan metoda
penelitian yang mampu membawa pemahaman tentang isu yang kompleks dan dapat
memperkuat pemahaman tentang pengetahuan yang telah diketahui sebelumnya.
Kelebihan dari metoda penelitian studi kasus adalah pada kemampuannya untuk
mengungkapkan kehidupan nyata yang kontemporer, situasi kemanusiaan, dan
pandangan umum melalui tentang suatu kasus, melalui laporan-laporan
penelitinya. Hasil penelitian studi kasus dapat menghubungkan secara langsung antara
pengalaman pembacanya yang awam dengan kasus terlihat sangat kompleks, dan
memfasilitasi pemahaman tentang situasi keadaan nyata yang kompleks tersebut
untuk lebih mudah dipahami oleh mereka. Untuk lebih jelasnya, perhatikan
kutipan-kutipan berikut ini:
Case
study research is one method that excels at bringing us to an understanding of
a complex issue and can add strength to what is already known through previous
research
(Dooley, 2005, 335).
The advantages of the case study method are its applicability to reallife, contemporary, human situations and its public accessibility through written reports. Case study results relate directly to the common reader’s everyday experience and facilitate an understanding of complex real-life situations (Dooley, 2005, 344).
The advantages of the case study method are its applicability to reallife, contemporary, human situations and its public accessibility through written reports. Case study results relate directly to the common reader’s everyday experience and facilitate an understanding of complex real-life situations (Dooley, 2005, 344).
Secara
filosofis, berkaitan dengan kasus sebagai obyek yang memiliki kekhususan,
Flyvbjerg (2006) menjelaskan bahwa penelitian studi kasus adalah penelitian
yang sangat ideal untuk membuktikan filosofi Karl Popper tentang fasifikasionisme,
yang menyatakan perlunya pandangan kritis terhadap setiap fenomena dan
kejadian. Penganut faham fasifikasionisme itu sendiri selalu melihat fenomena
sosial secara kritis, dengan berupaya mengungkapkan kesalahan-kesalahan yang
berada dibaliknya, sebagai masukan untuk perbaikan dan penyempurnaan
selanjutnya. Penelitian studi kasus dapat menyediakan kasus-kasus yang dapat
menunjukkan kesalahan atau ketidaksempurnaan, sebagai masukan untuk tindakan
berikutnya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:
The
case study is ideal for generalizing using the type of test that Karl Popper
called “falsification,” which in social science forms part of critical
reflexivity. Falsification is one of the most rigorous tests to which a
scientific proposition can be subjected: If just one observation does not fit
with the proposition, it is considered not valid generally and must therefore
be either revised or rejected (Flyvbjerg, 2006, 225).
Pada akhirnya,
menurut Lincoln dan Guba (1985), penelitian studi kasus adalah penelitian yang
berupaya untuk mengungkapkan berbagai pelajaran yang berharga (best learning
practices) yang diperoleh dari pemahaman terhadap kasus yang diteliti.
Pelajaran tersebut meliputi tentang bagaimana masalah kasus yang sebnarnya;
bagaimana kaitan kasus dengan konteks lingkungan dan bidang keilmuannya; apa
teori yang terkait dengannya; apa dan bagaimana keterkaitan isu (unit analisis)
yang ada di dalamnya; dan akhirnya apa pelajaran yang dapat diambil untuk
memperbaiki dan menyempurnakan langkah kehidupan manusia ke depan.
Proses Penelitian Studi Kasus
Seperti halnya pembahasan tentang pengertian dan
jenis-jenis penelitian studi kasus yang berbeda-beda, pembahasan proses
penelitian studi kasus juga berbeda-beda di antara para pakar. Pada umumnya
perbedaan proses tersebut bersumber dari perbedaan cara pandang mereka terhadap
kasus. Dengan kata lain, perbedaan proses dapat terjadi karena perbedaan paradigma
yang digunakan di dalam penelitian studi kasus.
Dari kesimpulan pembahasan terhadap paradigma dan
jenis-jenis penelitian studi kasus, dapat diketahui bahwa pada dasarnya
penelitian studi kasus dapat dikelompokkan menjadi dua. Yang pertama adalah
adalah penelitian studi kasus yang menggunakan paradigma postpositivistik.
Jenis penelitian studi kasus ini lebih menekankan pada kasus sebagai obyek yang
holistik sebagai fokus penelitian, seperti yang sring dijelaskan oleh Stake
(2005) dan Creswell (2007). Sedangkan yang lain adalah penelitian studi kasus
yang menggunakan paradigma penelitian positivistik. Penelitian studi kasus ini
secara umum ditandai dengan penggunaan kajian literatur atau teori pada
penelitiannya. Jenis penelitian ini khususnya adalah penelitian studi kasus
terpancang (embedded) yang terikat pada penggunaan unit analisis,
seperti yang ditunjukkan dan dijelaskan oleh Yin (2003a, 2009).
Sesuai dengan pendapatnya, yaitu bahwa proses penelitian
studi kasus adalah penelitian yang terfokus pada kasus yang diteliti, Stake
(2005) menekankan pada pentingnya kasus pada setiap tahapan proses penelitian
studi kasus. Berdasarkan pendapatnya tersebut, Stake (2005, 2006) menjelaskan
proses penelitian studi kasus adalah sebagai berikut:
1. Menentukan dengan membatasi kasus. Tahapan ini adalah upaya untuk memahami kasus, atau
dengan kata lain membangun konsep tentang obyek penelitian yang diposisika
sebagai kasus. Dengan mengetahui dan memahami kasus yang akan diteliti,
peneliti tidak akan salah atau tersesat di dalam menentukan kasus
penelitiannya. Pada proposal penelitian, bentuknya adalah latar belakang
penelitian.
2. Memilih fenomena, tema atau isu penelitian. Pada tahapan ini, peneliti membangun pertanyaan
penelitian berdasarkan konsep kasus yang diketahuinya dan latar belakang
keinginannya untuk meneliti. Pertanyaan penelitian dibangun dengan sudah
mengandung fenomena, tema atau isu penelitian yang dituju di dalam proses
pelaksanaan penelitian.
3. Memilih bentuk-bentuk data yang akan dicari dan
dikumpulkan. Data dan bentuk data dibutuhkan untuk mengembangkan isu
di dalam penelitian. Penentuan data yang dipilih disesuaikan dengan
karakteristik kasus yang diteliti. Pada umumnya bentuk pengumpulan datanya
adalah wawancara baik individu maupun kelompok; pengamatan lapangan; peninggalan
atau artefak; dan dokumen.
4. Melakukan kajian triangulasi terhadap
kunci-kunci pengamatan lapangan, dan dasar-dasar untuk melakukan interpretasi
terhadap data. Tujuannya adalah agar data yang diperoleh adalah benar, tepat
dan akurat.
5. Menentukan interpretasi-interpretasi alternatif
untuk diteliti. Alternatif interpretasi dibutuhkan untuk menentukan
interpretasi yang sesuai dengan kondisi dan keadaan kasus dengan maksud dan
tujuan penelitian. Setiap interpretasi dapat menggambarkan makna-makna yang
terdapat di dalam kasus, yang jika diintegrasikan dapat menggambarkan
keseluruhan kasus.
6. Membangun dan menentukan hal-hal penting dan melakukan generalisasi dari hasil-hasil penelitian terhadap kasus. Stake (2005, 2006) selalu menekankan tentang pentingnya untuk selalu mengeksploasi dan menjelaskan hal-hal penting yang khas yang terdapat di dalam kasus. Karena pada dasarnya kasus dipilih karena diperkirakan mengandung kekhususannya sendiri. Sedangkan generalisasi untuk menunjukkan posisi hal-hal penting atau kekhususan dari kasus tersebut di dalam peta pengetahuan yang sudah terbangun.
6. Membangun dan menentukan hal-hal penting dan melakukan generalisasi dari hasil-hasil penelitian terhadap kasus. Stake (2005, 2006) selalu menekankan tentang pentingnya untuk selalu mengeksploasi dan menjelaskan hal-hal penting yang khas yang terdapat di dalam kasus. Karena pada dasarnya kasus dipilih karena diperkirakan mengandung kekhususannya sendiri. Sedangkan generalisasi untuk menunjukkan posisi hal-hal penting atau kekhususan dari kasus tersebut di dalam peta pengetahuan yang sudah terbangun.
Berdasarkan pendapat Stake (1995, 2005, dan 2006),
Creswell (2007) menjelaskan proses penelitian studi kasus secara lebih
sederhana dan praktis, adalah sebagai berikut:
1. Tahapan pertama yang harus dilakukan oleh peneliti
adalah menentukan apakah pendekatan penelitian kasus yang akan dipergunakan
telah sesuai dengan masalah penelitiannya. Suatu studi kasus menjadi
pendekatan yang baik adalah ketika penelitinya mampu menentukan secara jelas
batasan-batasan kasusnya, dan memiliki pemahaman yang mendalam terhadap
kasus-kasusnya, atau mampu melakukan perbandingan beberapa kasus.
2. Peneliti mengidentifikasikan kasus atau kasus-kasus
yang akan ditelitinya. Kasus tersebut dapat berupa seorang individu,
beberapa individu, sebuah program, sebuah kejadian, atau suatu kegiatan. Untuk
melakukan penelitian studi kasus, Creswell (2007) menyarankan penelitinya untuk
mempertimbangkan kasus-kasus yang berpotensi sangat baik dan bermanfaat. Kasus
tersebut dapat berjenis tunggal atau kolektif; banyak lokasi atau lokasi
tunggal; terfokus pada kasusnya itu sendiri atau pada isu yang ingin diteliti (intrinsic
atau instrumental) (Stake, 2005; Yin, 2009). Creswell (2007) juga
menyarankan bahwa untuk menentukan kasus dapat mempertimbangkan berbagai alasan
atau tujuan, seperti kasus sebagai potret (gambaran contoh yang
bermanfaat maksimal); kasus biasa; kasus yang terjangkau; kasus yang berbeda
dan sebagainya.
3. Melakukan analisis terhadap kasus. Analisis
kasus dapat dilakukan dalam 2 (dua) jenis, yaitu analisis holistik (holistic)
terhadap kasus, atau analisis terhadap aspek tertentu atau khusus dari kasus (embedded)
(Yin, 2009). Melalui pengumpulan data, suatu penggambaran yang terperinci akan
muncul dari kajian peneliti terhadap sejarah, kronologi terjadinya kasus, atau
gambaran tentang kegiatan dari hari-ke hari dari kasus tersebut. Setelah
menggambarkan secara holistik, kajian dilakukan lebih terperinci pada beberapa
kunci atau tema yang terdapat di balik kasus, yang dilakukan dengan maksud
tidak untuk melakukan generalisasi, tetapi lebih banyak untuk mengungkapkan
kompleksitas kasus. Caranya dapat dilakukan dengan mengkaji isu-isu yang
membentuk kasus, yang diikuti dengan menggali tema-tema yang berada di balik
isu tersebut. Kajian ini bersifat sangat kaya terhadap penjelasan tentang
konteks atau seting dari kasus tersebut (Yin, 2009). Ketika melakukan
penelitian studi kasus jamak, format kajian pertama yang dilakukan adalah
kajian terhadap setiap kasus terlebih dahulu untuk mengambarkan isu-isunya dan
tema-temanya secara terperinci, yang disebut sebagai within-case analysis
(Yin 2009). Selanjutnya, tema-tema hasil kajian per-kasus dikaji
saling-silangkan dengan menggunakan analisis saling-silang kasus, atau yang
disebut sebagai sebuah cross-case analysis, dan melakukan pemaknaan serta
mengintegrasikan makna-makna yang berhasil digali dari kasus-kasus tersebut.
4. Sebagai tahapan akhir analisis interpretif, peneliti melaporkan
makna-makna yang dapat dipelajari, baik pembelajaran terhadap isu yang
berada di balik kasus yang dilakukan melalui penelitian kasus instrumental (instrumental
case research), maupun pembelajaran dari kondisi yang unik atau jarang yang
dilakukan melalui penelitian studi kasus mendalam (intrinsic case study
research). Menurut Lincoln dan Guba (1985), tahapan ini disebut sebagai
tahapan untuk menggali pembelajaran terbaik yang dapat diambil dari kasus yang
diteliti.
Berdasarkan penjelasan proses penelitian studi kasus yang
dijelaskan oleh Creswell (1998), Hancock dan Algozzine (2006) memberikan
pandangan mereka tentang proses penelitian studi kasus. Meskipun demikian, pada
kenyataannya, penjelasannya mereka relatif jauh berbeda dengan konsep proses
penelitian studi kasus Creswell (1998) yang cenderung berdasarkan paradigma
postpostivistik. Sementara itu, mereka lebih cenderung memandang penelitian
studi kasus sebagai penelitian yang berdasarkan kepada paradigma positivistik,
karena menempatkan kajian teori pada bagian awal penelitian. Berikut ini adalah
penjelasan Hancock dan Algozzine (2006) tentang proses penelitian studi kasus,
sebagai berikut:
1. Mempersiapkan panggung. Tahapan ini adalah
tahapan pertama yang harus dilakukan oleh seorang peneliti studi kasus. Tahapan
ini bertujuan untuk mempersiapkan berbagai hal yang perlu diketahui sebagai
bekal peneliti untuk melakukan penelitian studi kasus. Persiapan tersebut
meliputi pengetahuan dan ketrampilan peneliti di dalam menjalankan penelitian
studi kasus. Hancock dan Algozzine (2006) menyarankan untuk memahami
karakteristik penelitian studi kasus, sehingga peneliti dapat memastikan bahwa
pendekatan dan metoda penelitian studi kasus adalah tepat untuk penelitiannya.
2. Menentukan apa yang telah diketahui. Tahapan
ini dilakukan dengan melakukan kajian teori dari literatur. Tujuannya adalah
untuk membangun konsep dasar penelitian, menentukan pentingnya penelitian;
pertanyaan penelitian; mengkaji kelebihan dan kelemahan pendekatan dan metoda
penelitian lain yang pernah dipergunakan untuk meneliti isu atau kasus yang
sama; penentuan pendekatan dan metoda penelitian studi kasus; menentukan gaya
atau bentuk yang akan dipergunakan oleh peneliti untuk mengembangkan pengetahuan
yang berkaitan dengan pertanyaan penelitian. Untuk mencapai tujuan tersebut,
peneliti menggunakan teori sebagai pengetahuan yang terdapat di dalam
litreratur sebagai acuannya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut
ini:
Your
purposes in reviewing the literature are to establish the conceptual foundation
for the study, to define and establish the importance of your research
question, to identify strengths and weaknesses of models and designs that
others have used to study it, and to identify the style and form used by
experts to extend the knowledge base surrounding your question (Hancock dan
Algozzine, 2006, 26).
3. Menentukan rancangan penelitian. Pada tahapan
ini, peneliti menentukan rancangan penelitian yang tepat terhadap maksud dan
tujuan penelitiannya, serta khususnya terhadap kasus yang ditelitinya. Di dalam
menentukan rancangan penelitian, hal perlu dilakukan adalah menentukan jenis
penelitian studinya. Jenis-jenis tersebut dapat berupa apakah penelitian studi
kasus yang dipilih berupa penelitian studi kasus tunggal, majemuk, mendalam,
holistik, dan sebagainya. Untuk menentukan hal tersebut, Hancock dan Algozzine
(2006) menyarankan untuk mempertimbangkan fungsi kasus di dalam penelitian,
apakah sebagai lokus atau instrumen; karakteristik penelitiannya, seperti
mengungkapkan, menggambarkan atau menjelaskan sesuatu; dan disiplin ilmu dari
penelitiannya. Jenis penelitian studi kasus yang dipilih akan menentukan
rancangan penelitiannya, termasuk jenis data yang dibutuhkan, metoda
pengumpulan data, dan metoda analisisnya.
4. Mengumpulkan informasi melalui wawancara. Pada
tahapan ini, peneliti melakukan pengumpulan data, khususnya melalui metoda
wawancara. Wawancara merupakan metoda utama di dalam penelitian studi kasus
kualitatif pada khususnya, dan pendekatan penelitian kualitatif pada umumnya.
Bentuk-bentuk wawancara dapat berupa wawancara individu maupun kelompok. Untuk
melakukan tahapan ini, peneliti harus mempersiapkan panduan wawancara, yang
dikembangkan dai hasil kajian literatur. Disamping itu, peneliti juga harus
menentukan sumber informasi dan teknik-teknik wawancara. Pelaksanaan wawancara
dilakukan pada saat sumber informan di lokasi sebagaimana ia melakukan kegiatan
sehari-harinya.
5. Mengumpulkan informasi melalui pengamatan lapangan.
Pada tahapan ini, peneliti melakukan pengamatan terhadap berbagai obyek pada
kondisi nyata di kejadian sehari-harinya. Obyek yang diamati bermacam-maca,
dapat berupa kondisi lingkungan kasus, individu atau kelompok orang yang sedang
melakukan kegiatan yang terkait dengan unit analisis, dan operasionalisasi
suatu peralatan. Di dalam pengamatannya, peneliti mencatat dan memberikan tema
atas obyek atau kejadian yang diamatinya.
6. Merumuskan dan menginterpretasikan informasi.
Pada tahapan ini, peneliti melakukan perumusan dan interpretasi atas informasi
yang dilakukannya. Seperti halnya pendekatan penelitian kualitatif pada
umumnya, peneliti melakukan perumusan dan interpretasi tidak dilakukan pada
akhir pengumpulan data, tetapi dilakukan selama melakukan pengumpulan data,
baik wawancara maupun pengamatan lapangan. Sehingga pada tahapan akhir
penelitian, peneliti dapat memperoleh hasil akhir dari kesinambungan proses
interpretasi atas informasi yang didapatkannya selama melakukan penelitian.
Hancock dan Algozzine (2006) menyarankan agar selama melakukan penelitian studi
kasus, peneliti selalu memfokuskan kepada upaya untuk selalu menjawab
pertanyaan-pertanyaan penelitian, agar tidak melenceng dari maksud dan tujuan
penelitiannya. Hal ini diperlukan karena penelitian akan mendapatkan banyak
sekali informasi selama melakukan penelitian, sehingga seringkali dapat
membelokkan fokus penelitian dari maksud dan tujuannya.
7. Menyusun laporan penelitian. Tahapan ini
merupakan tahapan terakhir dari penelitian studi kasus. Pada tahapan ini,
penulis menuangkan hasil penelitiannya dalam laporan dengan urutan yang logis
dan dapat dicerna oleh pembacanya. Hancock dan Algozzine (2006) menyatakan ada
3 (tiga) strategi yang dapat dipergunakan untuk menyusun laporan penelitian studi
kasus, yaitu analisis tematik, analisis kategorial dan analisis naratif.
Strategi analisis tematik adalah memberikan pelaporan dengan menekankan pada
jawaban-jawaban atas pertanyaan penelitian, sehingga menghasilkan tema-tema
pelaporan yang sesuai dengan pertanyaan penelitian. Karena kemudahannya,
strategi ini sangat tepat digunakan oleh peneliti pemula. Sementara itu
strategi analisis kategorial berupaya untuk mengembangkan pelaporan pada
penelitian studi kasus jamak yang menghasilkan kategori-kategori atas unit-unit
analisis atau kasus-kasus yang diteliti. Sementara itu, strategi analisis
naratif adalah pelaporan yang menjelaskan dan menggambarkan kembali data-data
yang diperoleh selama pelaksanaan penelitian berdasarkan maksud dan tujuan
penelitinya.
Sementara itu, Yin (2003a, 2009) membagi proses
penelitian menjadi 2 (dua) jenis, yaitu proses penelitian studi kasus tunggal
dan proses penelitian studi kasus jamak. Kedua proses tersebut pada dasarnya
mengacu pada proses dasar yang sama. Perbedaannya adalah pada jumlah kasus pada
penelitian studi kasus jamak yang lebih dari satu, sehingga membutuhkan
replikatif proses yang lebih panjang untuk mengintegrasikan hasil-hasil kajian
dari tiap-tiap kasus. Untuk lebih jelasnya, proses penelitian studi kasus menurut
Yin (2009) adalah sebagai berikut:
1. Mendefinsikan dan merancang penelitian. Pada tahap ini, peneliti melakukan kajian pengembangan teori atau konsep untuk menentukan kasus atau kasus-kasus dan merancang protokol pengumpulan data. Pada umumnya, pengembangan teori dan konsep digunakan untuk mengembangkan pertanyaan penelitian dan proposisi penelitian. Proposisi penelitian memiliki posisi yang mirip dengan hipotesis, yaitu merupakan jawaban teoritis atas pertanyaan penelitian. Merkipun demikian, proposisi lebih cenderung menggambarkan prediksi konsep akhir yang akan dituju di dalam penelitian. Proposisi merupakan landasan bagi peneliti untuk menetapkan kasus paa umumnya dan unit analisis pada khususnya. Tahapan ini sama untuk penelitian studi kasus tunggal maupun jamak.
1. Mendefinsikan dan merancang penelitian. Pada tahap ini, peneliti melakukan kajian pengembangan teori atau konsep untuk menentukan kasus atau kasus-kasus dan merancang protokol pengumpulan data. Pada umumnya, pengembangan teori dan konsep digunakan untuk mengembangkan pertanyaan penelitian dan proposisi penelitian. Proposisi penelitian memiliki posisi yang mirip dengan hipotesis, yaitu merupakan jawaban teoritis atas pertanyaan penelitian. Merkipun demikian, proposisi lebih cenderung menggambarkan prediksi konsep akhir yang akan dituju di dalam penelitian. Proposisi merupakan landasan bagi peneliti untuk menetapkan kasus paa umumnya dan unit analisis pada khususnya. Tahapan ini sama untuk penelitian studi kasus tunggal maupun jamak.
2. Menyiapkan, mengumpulkan dan menganalisis data.
Pada tahap ini, peneliti melakukan persiapan, pengumpulan dan analisis data
berdasarkan protokol penelitian yang telah dirancang sebelumnya. Pada
penelitian studi kasus tunggal, penelitian dilakukan pada kasus terpilih hingga
dilanjutkan pada tahapan berikutnya. Pada penelitian studi kasus jamak,
penelitian pada setiap kasus dilakukan sendiri-sendiri hingga menghasilkan
laporan sendiri-sendiri juga.
3. Menganalisis dan Menyimpulkan. Tahapan ini
merupakan tahapan terakhir dari proses penelitian studi kasus. Pada penelitian
studi kasus tunggal, analisis dan penyimpulan dari hasil penelitian digunakan
untuk mengecek kembali kepada konsep atau teori yang telah dibangun pada tahap
pertama penelitian. Sementara itu, pada penelitian studi kasus jamak, analisis
dan penyimpulan dilakukan dengan mengkaji saling-silangkan hasil-hasil
penelitian dari setiap kasus. Seperti halnya pada penelitian studi kasus
tunggal, hasil analisis dan penyimpulan di gunakan untuk menetapkan atau
memperbaiki konsep atau teori yang telah dibangun pada awal tahapan penelitian.
Kesalahpahaman Terhadap Penelitian Studi Kasus
Bent
Flyvbjerg di dalam artikelnya yang berjudul Five Misunderstandings About
Case-Study Research (Qualitative Inquiry 2006; 12; 219) pernah menuliskan
adanya 5 (lima) kesalahpahaman terhadap penelitian studi kasus. Kajian di dalam
artikel tersebut menjadi bahan perdebatan di kalangan pengamat, penulis dan
peneliti penelitian studi kasus. Artikel tersebut sekaligus juga membuka mata
mereka tentang adanya pandangan miring terhadap ‘kepercayaan’ mereka
terhadap penelitian studi kasus pada khususnya dan bahkan terhadap pendekatan
penelitian kualitatif pada umumnya.
Sebenarnya
melalui artikelnya tersebut, Bent Flyvbjerg berupaya memberikan jawaban atas
berbagai pandangan yang dianggap salah (kesalahapahaman) terhadap penelitian
studi kasus, yang ditudingkan oleh para peneliti yang berparadigma positivistik
pada umumnya dan khususnya peneliti yang menggunakan pendekatan kuantitatif.
Disamping itu, artikel ini juga telah menggelitik pakar lain untuk ikut angkat
bicara, yang sekaligus memberikan dukungan terhadap Bent Flyvbjerg, seperti
pada artikel yang ditulis oleh Lee Peter Ruddin (You Can Generalize Stupid!
Social Scientists, Bent Flyvbjerg, and Case Study Methodology; Qualitative
Inquiry 2006; 12; 797), dan Rob VanWynsberghe dan Samia Khan (Redefining Case
Study; International Journal of Qualitative Methods 6-2-Juni 2007). Marilah
kita bahas satu per-persatu dari 5 (lima) kesalahpahaman menurut Bent Flyvbjerg
tersebut.
1.
Misunderstanding 1: General,
theoretical (context-independent) knowledge is more valuable than concrete,
practical (context-dependent) knowledge.
Kesalahpahaman
ini muncul karena adanya ‘kepercayaan’ yang sangat mendalam dari kaum
positivistik bahwa teori-teori general yang sudah diakui kebenarannya selama
ini adalah yang telah dibangun dan diuji melalui berbagai penelitian, sehingga
semakin mendekati kebenaran yang mendekati mutlak. Oleh karena itu, tentu saja
harus dipadang lebih bernilai dibandingkan dengan pengetahuan yang dibangun
dari penelitian praktis dan konkret yang selama ini dilakukan melalui
penelitian studi kasus pada khususnya dan penelitian kualitatif dengan
paradigma postpositivistik pada umumnya. Sementara itu, menurut Ruddin (2006,
hal 798-799), penelitian yang bersifat praktis-konkrit memiliki keunggulan
lain, yaitu bersifat evaluatif terhadap penerapan teori-teori general tersebut yang
hasilnya sangat bermanfaat bagi perbaikan dan bahkan penemuan-penemuan baru
yang lebih baik dan orisinil; dan untuk menunjukkan pencapaian kebenaran (truth)
baru yang telah dilakukan manusia berdasarkan kepada kehidupan yang nyata. Jadi
menurut pada penganut pendekatan postpostivistik ini, penelitian kualitatif,
termasuk penelitian studi kasus memiliki peran dan posisinya tersendiri
terhadap pengembangan pengetahuan.
2.
Misunderstanding 2: One cannot
generalize on the basis of an individual case; therefore, the case study cannot
contribute to scientific development.
Kesalahpahaman
ini muncul karena adanya logika dari para penganut positivistik yang
beranggapan bahwa bagaimana mungkin satu kasus (yang dilogikakan ‘satu kasus’
sama dengan ‘satu sampel’ pada penelitian kuantitatif) dapat merepresentasikan
suatu populasi yang sedemikian banyaknya. Logika ini langsung dibantah bahwa
kasus tidak dapat disamakan dengan sampel, karena pada dasarnya kasus mewakili
dirinya sendiri, bukan sebagai representasi dari suatu populasi. Oleh karena
itu, obyek penelitian yang telah dipandang sebagai kasus, harus diteliti secara
komprehensif, holistik dan menyeluruh, karena hasilnya harus dapat
mendiskripsikan kasus tersebut secara lengkap dan utuh. Hasil penelitian terhadap
kasus yang menyeluruh itu sendiri tentu saja dapat menyumbangkan pada
pengembangan pengetahuan. Contohlah, apabila selama ini pengembangan teori
arsitektur benteng kolonial di Indonesia selama ini selalu mengacu pada benteng
buatan Belanda, tetapi jika arsitek telah meneliti sebuah benteng kolonial
buatan Inggris yang satu-satunya ada di Indonesia, yaitu di Bengkulu, maka
melalui hasil penelitiannya itu, ia akan menyumbangkan pengetahuan dan bahkan
teori arsitektur benteng kolonial Indonesia yang lain, yang baru dan orisinil.
3.
Misunderstanding 3: The case
study is most useful for generating hypotheses; that is, in the first stage of
a total research process, whereas other methods are more suitable for
hypotheses testing and theory building.
Kesalahpahaman
ini muncul karena adanya anggapan dari kaum positivistik bahwa kasus hanya
bermanfaat untuk membangun hipotesis penelitian yang dilakukan pada bagian awal
penelitian. Sedangkan, bagian yang terpenting dari penelitian adalah menguji
hipotesis dengan sampel responden yang lebih banyak. Dengan kata lain, hasil
dari penelitian studi kasus harus digeneralisasi melalui penelitian dengan
pendekatan positivistik, agar kebenaran yang dihasilkan diakui secara lebih
luas. Sesungguhnya, seperti telah dijelaskan pada kesalahpahaman nomer satu,
kasus harus dipandang sebagai sesuatu yang mewakili dirinya sendiri. Oleh
karena itu, pengetahuan dan kebenaran yang dihasilkan dari penelitian terhadap
kasus tersebut sangat melekat pada konteks kasus tersebut, sehingga tidak dapat
digeneralisasikan seperti halnya pada penelitian positivistik. Meskipun
demikian, kebenaran dan pengetahuan yang dihasilkan dari suatu penelitian studi
kasus sering menjadi ‘ilham’ atau ‘stimulan’ bagi para peneliti positivistik
untuk melakukan penelitian kuantitatif.
4.
Misunderstanding 4: The case
study contains a bias toward verification, that is, a tendency to confirm the
researcher’s preconceived notions.
Kesalahpahaman
ini muncul karena adanya tuduhan bahwa para peneliti sosial, khususnya yang
menggunakan penelitian kualitatif atau berparadigma postpositivistik bersifat
cenderung telah memiliki prasangka terlebih dahulu terhadap obyek
penelitiannya. Dengan demikian, tuduhan ini pun mengarah kepada pada peneliti
studi kasus. Hal ini segera dibantah dengan alasan bahwa setiap peneliti studi
kasus akan menggunakan berbagai sumber data yang banyak secara terperinci dan
menyeluruh yang sangat bersifat kontekstual dan kasuistis, sehingga sulit bagi
penelitinya untuk menyelaraskan prasangkanya dengan temuan-temuan di
lapangannya. Disamping itu, penggunaan berbagai metoda untuk untuk memvalidasi
data di dalam penelitian studi kasus, seperti metoda triangulasi, juga
menyebabkan data dan analisis yang dilakukan bersifat obyektif.
5.
Misunderstanding 5: It is often
difficult to summarize and develop general propositions and theories on the
basis of specific case studies.
Bagi
para peneliti dengan paradigma positivistik, sulit rasanya untuk menerima hasil
dari penelitian atas kasus-kasus khusus (spesifik) sebagai sebuah teori. Karena
khusus (spesifik) maka teorinya pun tentu saja tidak bersifat umum. Meskipun
demikian, pengetahuan yang berhasil digali dari suatu kebenaran yang khusus-pun
tetap harus dianggap sebagai suatu pengetahuan. Dengan memperhatikan kebenaran-kebenaran
yang bersifat spesifik, lokal dan kontekstual, maka pengetahuan jadi akan lebih
berkembang secara lebih kaya. Dengan kata lain, melalui cross-case
analisis, atau melalui dialog teori, maka kebenaran-kebenaran yang berhasil
diangkat melalui penelitian kualitatif dapat memperkaya pengetahuan melalui
cara, peran dan posisinya yang tersendiri, dan bahkan dapat diangkat menjadi
teori tersendiri. Yin (2009) dan Stake (2005, 2006) telah menunjukkan bahwa
hasil-hasil penelitian studi kasus yang khusus pun dapat diangkat menjadi suatu
teori.
Singkatnya,
kemunculan penelitian studi kasus adalah karena adanya obyek penelitian yang
harus dipandang sebagai kasus. Hal ini berdasarkan pendapat Stake (2005) bahwa
‘Case study is not a methodological choice, but a choice what it is to be
studied’. Jadi yang terpenting dari penelitian studi kasus adalah memilih
kasus yang sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian.
Daftar Pustaka:
Yin, Robert K. (2006). Studi Kasus Desain dan Metode. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Creswell, John W. (2007). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Approaches, 2nd ed. Sage Publication, Inc.
Daftar Pustaka:
Yin, Robert K. (2006). Studi Kasus Desain dan Metode. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Creswell, John W. (2007). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Approaches, 2nd ed. Sage Publication, Inc.
Komentar
Posting Komentar
Comment