CULTURAL STUDIES: TEORI DEKONSTRUKSI

Sebuah pendekatan untuk mengkritisi fenomena media massa. Bagaimana untuk mengungkap apa yang ada dalam sebuah teks (ideology, hidden, dll) yang melekat adalah asumsi, ideologi. Teks disini tidak harus sebuah tulisan dapat berupa video, gambar, dll. karena dibalik semua itu ada yang dapat mengungkap sebuah teks tersebut. Hasil dekonstruksi dapat berbeda-beda pada setiap budaya. Jadi, tergantung konstruksi sosial yang dibentuk pada setiap kebudayaan, bagaimana mereka mengartikan sebuah simbol atau tanda.
Dekonstruksi disini berupaya menampilkan tekstualitas laten dibalik teks-teks atau asumsi-asumsi tersembunyi di balik hal-hal yang tersurat. Menurut Derrida pembacaan dekonstruktif hendak untuk menunjukkan ketidakberhasilan, yaitu menunjukkan agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan kepincangan di balik teks-teks. Pembaca dan penonton dituntut bersikap aktif dalam menganalisis suatu teks dengan mencari sesuatu yang tersembunyi, bahkan si pembuat teks sendiri, belum tentu mengetahui teks tersembunyi yang telah ia buat.
Dalam kajian budaya, dekonstruksi Derrida memberi pengaruh penting. Berkat dekonstruksi Derrida, makna kini tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang mutlak, tunggal, universal, dan stabil, tetapi makna selalu berubah. Klaim-klaim kebenaran absolut, kebenaran universal, dan kebenaran tunggal, yang biasa mewarnai gaya pemikiran filsafat sebelumnya, semakin digugat, dipertanyakan, dan tidak lagi bisa diterima.
            Secara sepintas, seolah-olah tidak ada tawaran “konkret” dari metode dekonstruksi. Namun, yang dimaui oleh dekonstruksi adalah menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi yang turut membangun teks. Teks dan kebudayaan tidak lagi dipandang sebagai tatanan makna yang utuh, melainkan sebagai arena pertarungan yang terbuka. Atau tepatnya, permainan antara upaya penataan dan chaos, antara perdamaian dan perang, dan sebagainya.
            Dalam kesusastraan, misalnya, dekonstruksi ditujukan sebagai metode pembacaan kritis yang bebas, guna mencari celah, kontradiksi dalam teks yang berkonflik dengan maksud pengarang. Dalam hal ini, membaca teks bukan lagi dimaksudkan untuk menangkap makna yang dimaksudkan pengarang, melainkan justru untuk memproduksi makna-makna baru yang plural, tanpa klaim absolut atau universal.
            Dalam proses itu, penafsir juga tidak bisa mengambil posisi netral tatkala menganalisis suatu teks tanpa dirinya sendiri dipengaruhi atau dibentuk oleh teks-teks yang pernah ia baca. Teks itu sendiri juga tidak bisa diasalkan maknanya semata-mata pada gagasan si pengarang, karena pikiran pengarang juga merujuk kepada gagasan-gagasan pengarang lain yang mempengaruhinya.
            Dekonstruksi, seperti juga pendekatan posmodernisme lainnya, dengan demikian cocok dengan konsep pluralitas budaya, pluralitas permainan bahasa, banyaknya wacana, penghargaan terhadap perbedaan, dan membuka diri terhadap yang lain (the other).
            Penghargaan terhadap perbedaan, pada “yang lain” ini membuka jalan bagi penghargaan pada pendekatan lokal, regional, etnik, baik pada masalah sejarah, seni, politik, masyarakat, dan kebudayaan pada umumnya.

            Penelitian yang bersifat lokal, atau etnik, dan sebagainya kini mendapat tempat, dan pada gilirannya akan memperkaya dan menghasilkan deskripsi atau narasi-narasi khas masing-masing. Mungkin, inilah salah satu sumbangan penting dekonstruksi Derrida terhadap kajian budaya.


ANALISIS IKLAN NIVEA
Kelompok kami melakukan analisis pada produk iklan NIVEA Whitening lotion di Indonesia. Pada iklan ini, terdapat aspek manifest bagaimana media mengkonstruksi audience tentang penampilan yang disebut sebagai wanita “cantik”. Iklan ini menunjukkan wanita yang cantik itu haruslah memiliki kulit yang putih, mulus, lembut, berambut panjang, tinggi semampai sehingga, dapat diidentitaskan sebagai wanita cantik. Iklan ini menunjukkan wanita yang memiliki ciri-ciri diatas merupakan wanita yang superior dibandingkan wanita yang tidak memiliki ciri-ciri tersebut. Lalu, kami melakukan dekonstruksi terhadap iklan tersebut, yaitu ketika wanita berkulit putih, mulus, tinggi, berambut panjang tidaklah harus dipandang wanita yang cantik dan diidamkan oleh banyak pria. Pada suatu negara tertentu seperti di Amerika, justru wanita berkulit coklat dan berambut gelombang justru dipandang sebagai wanita yang cantik dibandingkan wanita berkulit putih kebanyakan. Di Amerika, iklan produk Nivea justru dikhususkan untuk penggelapan kulit agar terlihat lebih eksotis. Jadi, mengapa kita sebagai orang Indonesia memandang hanya wanita yang berkulit putih yang disebut cantik, sedangkan di negara lain khususnya di Amerika, wanita cantik itu dipandang dengan ciri-ciri berkulit cokelat, mulus, berambut bergelombang. Sebagai contoh, artis Jono dan juga pemain sepakbola Gonzales. Kedua pria bule ini memiliki kesamaan dalam memandang wanita cantik yaitu wanita yang berkulit kecoklatan, rambut coklat atau pirang dengan bentuk fisik tubuh yang tidak sesempurna wanita yang dipandang ideal di Indonesia. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa wanita yang dipandang cantik tidak bisa digeneralisasikan atau diidentikkan dengan wanita berkulit putih. Orang barat lebih tertarik dengan wanita Indonesia yang berkulit cokelat daripada wanita berkulit putih yang dipandang sebagai wanita cantik. Jadi disini, kita melakukan dekonstruksi karena kita melihat dari sudut pandang budaya yang berbeda yang dihasilkan oleh media melalui iklan.
DAFTAR PUSTAKA 
Sugiharto, I. B. (1996). Postmodernisme tantangan bagi filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Komentar

Postingan Populer