Sistem Ekonomi Indonesia: Berbagai Masalah/Ekses Otonomi Daerah
Sistem Ekonomi Indonesia: Berbagai Masalah/Ekses Otonomi Daerah
C. Berbagai Masalah/Ekses Otonomi
Daerah
Belum memadainya perimbangan
keuangan antara pusat dan daerah hanya salah satu dari sekian banyak masalah
dan juga ekses dari otonomi daerah. Meskipun masih merepotkan, setidaknya
masalah ini sudah mulai dapat diatasi melalui pengetatan control pemerintah
pusat. Di luar itu masih sangat banyak persoalan yang harus diatasi dan menjadi
perhatian kita semua. Sekurang-kurangnya masih ada tiga masalah besar lainnya
dan satu sama lain berkaitan yang akan kita bahas, yakni:
1. Melebarnya
ketimpangan tingkat kemajuan pembangunan, kesejahteraan, dan kemampuan keuangan
antar daerah.
2. Masih
minimnya kemampuan daerah dalam mengelola diri sendiri.
3. Politisasi
isu (otonomi daerah), terutama dalam kasus pemekaran wilayah yang cenderung
berlebihan dan hanya memboroskan uang Negara.
4. Merebaknya
korupsi di daerah yang memunculkan fenomena “desentralisasi korupsi”.
I.
Ketimpangan
Antardaerah
Pulau Jawa yang
semua kabupaten/kotanya terhitung sebagai wilayah berpenduduk terpadat, bukan
saja di Indonesia, namun juga di dunia. Kalau saja semua pulau di Indonesia
sepadat Jawa, maka Bank Dunia memperkirakan total jumlah penduduk Indonesia
bisa mencapai 2 miliar jiwa. Di sisi lain ada Papua yang begitu jarang
penduduknya, luas seluruh Papua (termasuk Papua Barat) hampir meliputi
seperempat wilayah darat Indonesia (22,82 persen) namun total penduduknya
hingga akhir 2008 tak sampai 2,8 juta.
Selain itu, masih banyak kontras yang lain. Salah
satu diantaranya yang menjadi kian mencolok setelah berlangsungnya otonomi
daerah adalah soal kemampuan keuangan antardaerah. Sebagai kabupaten terkaya di
Indonesia, Kutai Kertanegara di Kalimantan Timur memiliki dana anggaran dan
jumlah pegawai yang jauh lebih banyak ketimbang Kabupaten Sleman. Padahal
jumlah penduduk yang harus diurus Kabupaten Sleman tiga kali lebih banyak
daripada penduduk Kutai Kertanegara. Kutai juga bisa muncul sebagai kabupaten
termaju dalam banyak hal, bukan cuma jumlah APBD-nya saja yang sebagian malahan
dihabiskan untuk aneka proyek.
Ada daerah yang
kaya berkat otonomi daerah seperti Kutai Kertanegara itu tentu bagus, namun
menjadi sama sekali tidaj bagus kalau daerah seperti itu hanya segelintir saja.
Harus diingat bahwa tujuan pembangunan nasional bukan sekadar mengupayakan
masyarakat yang makmur, melainkan masyarakat yang adil dan makmur. Adil memanh
bukan berarti sama rata, tetapi berimbang antara berbagai aspek pendukung dalam
perbandingan tiap daerah.
Beberapa data
tentang kondisi antardaerah memperlihatkan perbedaan yang sangat mencolok.
Untuk pendapatan per kapita, ada kabupaten/kota di Indonesia yang bahkan mampu
menyaingi Brunei Darussalam. Di sisi lain, ada daerah yang pendapatan per
kapitanya lebih rendah daripada negara-negara terbelakang di Afrika. Ironisnya,
daerah yang pendapatan per kapitanya rendah jauh lebih banyak ketimbang daerah
yang pendapatan per kapitanya tinggi.
Demikian pula
ada kabupaten/kota yang presentase penduduk miskinnya hanya 3 persen, namun ada
pula yang lebih dari separuh penduduknya (51 persen) masih miskin. Bahkan
kabupaten dengan presentase penduduk miskin terbanyak itu justru ada di Papua,
salah satu provinsi yang PDRB-nya paling besar (hal ini sekaligus menunjukkan
bahwa hasil pertambangan yang umumnya dilakukan perusahaan asing, khususnya
Freeport, tidak punya dampak positif signifikan terhadap kesejahteraan penduduk
setempat dan pemerintah setempat ternyata juga tidak mampu memanfaatkan
APBD-nya yang besar itu untuk mengangkat kesejahteraan warganya sendiri).
Menurut Bank
Dunia, fasilitas pendidikan di kota-kota besar serta kota menengah di provinsi
makmur sudah setara dengan yang ada di berbagai negara berkembang lainnya.
Namun kondisi dan fasilitas pendidikan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) umumnya
masih sama seperti negara-negara terbelakang di Afrika. Demikian juga dengan kondisi
dan fasilitas kesehatan, untuk indicator usia harapan hidup (yang menunjukkan
kualitas kesehatan secara umum) ada daerah yang telah mencapai 73,7 tahun.
Namun dalam waktu yang bersamaan ada pula kabupaten/kota yang usia harapan
hidupnya masih 57,5 tahun.
Berbagai
ketimpangan indicator pembangunan pada umumnya juga didapati pada komparasi
antar Provinsi, meskipun tingkat kesenjangannya tidak setajam di antara
kabupaten/kota. Berdasarkan data PDRB per kapita, Kalimantan Timur merupakan
provinsi terkaya di Indonesia dengan pendapatan Rp.67,6 juta per kepala
penduduk per tahun. Kedua ada DKI Jakarta dengan hampir 56 juta, disusul Riau
dengan Rp.35 juta. PDRB Per kapita terendah ada di Maluku Utara dengan hanya
Rp. 3 juta, NTT dengan Rp 3,8 juta, lalu Maluku dengan RP 3,9 Juta.
Anggapan lama
bahwa penduduk Jawa adalah warga Indonesia paling makmur ternyata hanya mitos
karena PDR per kapita kawasan ini hanya menduduki urutan ketiga, kalah dari
Kalimantan dan Sumatera. Bahkan, sebenarnya Jawa juga dapat dikatakan sebagai
pusat lokasi warga miskin di Indonesia. Dari segi presentase (tertinggi Jawa
Tengah 20,43 %), memang masih banyak provinsi lain yang mambukukan angka lebih
tinggi, tetapi lihatlah jumlah penduduknya. Di Jawa pula terdapat provinsi
(Banten) dengan tingkat pengangguran
tertinggi di Indonesia, yakni 15,75 persen.
Dalam soal
presentase penduduk miski, angka terbesar lagi-lagi masih ditemukan di Kawasan
Indonesia Timur (Papua, Papua Barat, Maluku). Kenyataan ini sunguh ironis
mengingat bahwa provinsi-provinsi itu justru memiliki Sumber Daya Alam terbesar
di Indonesia (di luar Kalimantan Timur).
“Juara” pertumbuhan PDRB pada periode itu adalah Sulawesi
yang secara umum tidak dikenal sebagai kawasan yang sangat kaya dengan sumber
daya alam. Juara pertama pertumbuhan PDRB di Indonesia selama tahun 2006 adalah
Sulawesi Tengah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 7,97 persen. Juara
kedua, ketiga dan keempat semuanya juga di Sulawesi, yakni adalah Sulawesi
Tenggara (7,68 persen), Gorontalo (7,2 persen), dan Sulawesi Barat (6,99)
persen. Juara kelima adalah Kepulauan Riau (6,78 persen), dan juara keenam
lagi-lagi dari Sulawesi, yakni Sulawesi Selatan (6,72). Sulawesi Utara yang
mencatat pertumbuhan PDRB terendah di Sulawesi pun (6,16) masih menduduki peringkat
kedelapan secara nasional (peringkat ketujuh adalah Sumatera Utara dengan 6,18
persen). Di Jawa, hanya Jawa Barat yang punya tingkat pertumbuhan di atas 6
persen. DI Yogyakarta bahkan hanya membukukan laju pertumbuhan 3,69 persen
(paling rendah kelima di seluruh Indonesia).
Banyak faktor yang bisa dikedepankan untuk menjelaskan
terjadinya ketimpangan itu, tetapi faktor tunggal utama yang menyebabkannya
adalah ketimpangan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA). Peraga VII-10
secara gamblang menunjukkan betapa timpangnya penerimaan DBH SDA ini yang
selanjutnya mengakibatkan kesenjangan kemampuan keuangan antardaerah. Daerah
yang kaya sumber daya alam memang berhak menikmati sebagian kekayaan itu
sehingga sah-sah saja kalau daerah yang dilimpahi berkah sumber daya alam
seperti Kalimantan Timur, Riau, dan Papua lebih kaya ketimbang daerah lain.
Namun karena semua daerah adalah bagian integral yang sama pentingnya bagi
Indonesia, dan karena penduduk daerah miskin juga punya hak dan kewajiban yang
sama dengan warga di daerah kaya, maka perlu dicarikan mekanisme penyeimbang
agar daerah miskin mendapat hak yang sama.
Pemilahan SDA menjadi Alokasi Dasar dan Celah Fiskal
dalam UU No. 33/2004 sesungguhnya merupakan kemajuan penting dilihat dari
perspektif ini. Bahwa kemudian ada tentangan dari daerah-daerah penerima DBH
SDA besar, itu juga merupakan bagian dari dinamika politik karena pada dasarnya
setiap pihak selalu menginginkan lebih untuk dirinya sendiri. Terpulang kepada
pemerintah pusat untuk bersikap tegas dalam membuat keputusan di lapangan.
Tentunya yang diharapkan adalah keputusan yang terbaik untuk kepentingan
nasional, bukan kepentingan daerah tertentu saja. Menurut hemat penulis,
penghapusan DAU bagi daerah-daerah yang memang sudah berkat DBH SDA, merupakan
langkah tepat bagi kemajuan dan prospek otonomi daerah itu sendiri secara
keseluruhan.
Bahwasanya ada sebagian daerah begitu makmur sehingga
jauh meninggalkan daerah-daerah lainnya saja sudah memprihatinkan, apalagi
dengan kenyataan betapa sebagian penduduk di daerah kaya tetap saja miskin.
Berdasarkan sejumlah penelitian, termasuk yang dilakukan oleh LPEM FEUI dan Departemen Dalam Negeri, Departemen
Keuangan, dan Bank Dunia ada dua faktor yang paling bertanggung jawab atas
lepas kaitannya antara kekayaan daerah dan kondisi kesejahteraan warganya
(termasuk kinerja pertumbuhan ekonomi secara umum), yakni ketidakmampuan aparat
daerah dalam memikul wewenang dan tanggung jawab yang berlipat ganda di era
otonomi daerah, serta, korupsi.
2. Kelemahan Kinerja Aparat Daerah
Kelemahan
aparat daerah (Pemda dan DPRD) dalam menjalankan tugas pemerintahan yang
mengabdi pada kepentingan rakyatnya merupakan kendala utama pelaksanaan otonomi
daerah sehingga hasilnya di lapangan masih jauh dari ideal. Menurut Bank Dunia,
tantangan utama bagi pembangunan Indonesia bukan lagi tentang bagaimana
memberikan dana kepada daerah-daerah, melainkan bagaimana membuat daerah-daerah
tersebut menggunakan dana yang ada dengan sebaik-baiknya. Sejak digulirkan pada
tahun 2001, transfer pusat ke semua daerah yang relatif merata, yakni Dana
Alokasi Umum (DAU) terus ditambah sehingga sampai tahun 2006 saja sudah
mengalami peningkatan. Dengan transfer dana dari pusat ini, meskipun jumlahnya
juga diakui belum ideal, sebenarnya sudah cukup memungkinkan aparat daerah
mengupayakan perbaikan taraf hidup warganya secara signifikan. Daerah-daerah
yang paling miskin pun sudah anggap miskin, kini memiliki DAU per kapita
rata-rata sebesar US$ 425 setiap tahun. Dengan dana sebanyak ini, mestinya sudah
ada peningkatan signifikan dalam pelayanan bagi masyarakat.
Dalam
kenyataannya, hal itu tidak terwujud karena lebih dari setengah penerimaan DAU
yang seharusnya digunakan untuk peningkatan penyediaan layanan kepada
masyarakat ternyata dihabiskan untuk membiayai belanja pegawai pemerintah
provinsi dan kabupaten/kota. Kebijakan pembayaran gaji pegawai
daerah secara penuh melalui DAU dan dalam taraf agak berlebihan (hampir semua
daerah memberikan pendapatan tambahan di luar gaji resmi kepada para pegawai
negeri sipil di daerah; bahkan sebagian daerah menganggap besaran gaji pegawai
merupakan indikator utama kemakmuran daerah) mengakibatkan dana bagi
peningkatan layanan masyarakat tidak memadai lagi.
Pemerintah
daerah pada umumnya tampaknya telah “lupa” dengan tujuan dasar DAU, yakni
memperbesar kemampuan pemerintah dalam melayani masyarakat. Lebih jauh, banyak
pemda yang terlalu mengandalkan DAU lalu tidak cukup berupaya menggali potensi
PAD. Pos pengeluaran ditinjau dari fungsi atau bidang kegiatan yang paling
banyak menghabiskan dana pemerintah daerah memang adalah pos belanja
penyelenggaraan administrasi yang menelan 32 persen dari seluruh pengeluaran
pemerintah daerah. Tentu saja hal ini turut mengakibatkan berkurangnya
pengeluaran untuk sektor-sektor penting lainnya yang menyangkut kepentingan
masyarakat banyak, terutama sektor kesehatan dan pendidikan.
Proporsi
belanja untuk fungsi administrasi memang bervariasi di tiap daerah, namun
Peraga VII-11 secara jelas menunjukkan bahwa ditilik dari peta belanja per
fungsi atau bidang, maka pos pengeluaran untuk fungsi administrasi itu yang
menelan paling banyak dana APBD di semua provinsi. Ini menunjukkan bahwa sudah
merupakan gejala umum pemerintah daerah mau gampangnya saja dalam memakai DAU.
Lebih buruk lagi, instrumen belanja pegawai menjadi ajang politisasi. Bupati
atau walikota baru dengan mudahnya menjanjikan tambahan tunjangan guna
merangkul dukungan dan loyalitas aparat pemda. Akibatnya, belanja pegawai
menjadi pos pengeluaran utama di semua pemda. Peraga VII-12 membuktikan bahwa
dilihat dari pemakaian per jenis belanja berdasarkan kategori pokok anggaran,
belanja pegawai selama ini telah menghabiskan paling banyak dana APBD di semua
provinsi.
Dengan
demikian, masalahnya bukan pada soal kecukupan dana, melainkan pada penyusunan
skala prioritas pemakaian dana yang tidak tepat di pihak daerah. Hal ini juga
bisa dibuktikan dengan tetap terbatasnya pelayanan publik oleh aparat di
daerah-daerah yang dapat dikatakan berkelimpahan dana. Aparat pemda bahkan
seperti tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan dana yang ada. Banyak
pemerintah daerah mengalami kesulitan untuk membelanjakan anggaran tambahan
yang diperoleh hampir setiap tahun. Pemda bukannya memanfaatkannya untuk
menambah layanan atau meningkatkan kualitas layanan yang sudah ada kepada
warga, atau berusaha lebih keras menjaring dan menyaring aspirasi kebutuhan
rakyat, melainkan justru menyimpan dana itu begitu saja dalam rekening bank
setempat hingga dalam rekening simpanan sementara di Bank Indonesia. Lebih
celaka lagi, banyak aparat pemda yang sengaja melakukan hal ini untuk
memperoleh pemasukan tambahan secara ilegal dengan membukukan pendapatan bunga
deposito dana APBD secara terpisah dan selanjutnya digunakan untuk kepentingan
politik (menyuap dukungan DPRD), atau sekadar mempertebal dompet pribadi.
Jumlah simpanan yang tidak dimanfaatkan itu semakin banyak dan telah mencapai
angka 3,1 persen dari PDB pada November 2006.
Lemahnya kemampuan
pemerintah daerah dalam mengelola dan memanfaatkan anggarannya sendiri harus
segera diatasi, karena porsi uang negara yang mereka kelola terus bertambah
besar. Peraga VII-13 memperlihatkan perkembangan total transfer dana dari pusat
kepada daerah-daerah, sedangkan Peraga VII-14 memerincinya dalam tiga kategori
utama transfer (DAU, DAK, DBH dan SDA). Pemda acap kali terlihat begitu konyol,
seolah-olah tidak tahu bagaimana memakai dana APBD. Kepatuhan terhadap anggaran
bukan merupakan alasan karena kenyataannya aparat pemda begitu “kreatif”
mengakali anggaran jika hal itu bisa membuahkan keuntungan pribadi. Di sisi
lain, begitu banyak kewajiban pembayaran yang sangat jelas namun seolah-olah
tidak terlihat begitu saja. Selain kewajiban pemenuhan dan peningkatan
pelayanan umum kepada masyarakat, pemda juga lalai membayar utang, apalagi jika
utang itu kepada pemerintah pusat, yang terkadang dipandang seperti mertua kaya
dan pikun yang seolah-olah boleh-boleh saja kalau sesekali “dikerjain”. Menteri
Keuangan bahkan sampai mengancam akan memotong DAU 2009 bagi 105 pemerintah
daerah yang menunggak membayar pinjaman pokok ke pemerintah. Kegeraman ini
beralasan karena setelah pemerintah pusat mengalah dan mau menghapusbukukan
bunga pinjaman itu, banyak daerah yang tetap saja “berlagak pilon” dalam
membayar pokok pinjaman. Ini sulit dipahami karena pemda yang bersangkutan
punya dana untuk membayar utang itu. Tampaknya dana yang sengaja didepositokan
itu ingin dibuat mengendap lebih lama agar membuahkan bunga lebih banyak. Dari
total tunggakan utang Pemda sebesar Rp 746,66 miliar, tunggakan pokok sebesar
Rp 217,44 miliar dan tunggakan non-pokok Rp 529,22 miliar.
Jika kelemahan daerah yang disengaja maupun yang
disebabkan keterbatasan pengetahuan dalam memanfaatkan dana daerah itu terus
dibiarkan, banyak yang terkorbankan adalah kepentingan nasional. Adalah ironis
ketika pemerintah pusat kesulitan dana untuk menutup defisit di tahun 2008,
banyak pemda yang justru tidak menggunakan dananya untuk program pembangunan,
dan sebagian besar di antaranya sekadar didepositokan diperbankan bagaikan dana
milik pribadi. Total dana daerah yang tidak terserap sampai awal Desember 2008
sudah mencapai Rp 45 triliun. Menkeu sempat gusar karena kalau uang
Jika
ekonomi berkembang , maka potensi penerimaan pajak juga akan dapat ditingkatkan
sehingga pemerintah pusat dapat memperkecil deficit APBN Bank Dunia menaksir
uang Negara yg secara langsung berada di tangan daerah sudah meliputi 37% ;
jumlah ini sudah jauh lebih banyak ketimbang proporsi uang public yg berada di
tangan pemerintah di Negara” maju (
OECD) . menurut analisis bank dunia, dr segi jmlah transfer pusat ke daerah memamng sudah memadai , namun
jenis, peruntukan, dan mekanisme perolehan dan pembagian transfer itu yang masih menjadi masalah. Sebagian
besar dana itu adalah DAU , yakni hibah sejumlah uang tanpa disertai cetak biru
rencana pemakaian maupun keharusan pertanggung jawaban. Akan lebih baik jika
DAU nantinya direformasi, misalnya dalam bentuk pembagian pajak( khususnya PPn,
dan penyerahan pajak perusahaan ) agar tercipta mekanisme pembagian dana
berdasarkan upaya masing” daerah. Kalau daerah memperoleh bagian dari pajak
perusahaan , misalnya ia akan lebih bersungguh-sungguh dan gigih memikat
investor agar mampu membuka usaha di daerahnya. Melalui mekanisme pembagian
dana berbasis upaya masing” daerah , akan tercipta perimbangan keuangan yang
hakiki.
Selain soal efisiensi , peingkatan
kemamuan aparat daerah kian mendesak demi memenuhi tugas pemenuhan pelayanan
kpd masyarakt . sejauh ini masih banyak masyarakat yg belum merasakan manfaat
otonomi daerah. Otonomi daerah memang masih terbatas di lingkungan elite
daerah, muali dari pejabat, politisi daerah yg peluangnya untuk berkuasa
menjadi lebih besar berkat otonomi daerah. Jika dibiarkan ini akan berbahaya
krn masyaakat luas lambat laun akan merugakan manfaat otonomi daerah, lalu
merasa kalau pelayanan langsung dari pemerintah pusat lebih memuaskan. Hal ini
bisa membawa kemunduran besar-besaran jika rakyat kemudian menggugat otonomi daerah itu sendiri. Tujuan
hakiki otonomi daerah sesungguhnya adalah untuk meningkatkan kesejahtreaan
masyarakat iNdonesia yg tersebar di
berbagai daerah.
Selama gelombang pertama otonomi
daerah, alokasi dana daerah ( provinsi/ kabupaten & kota) cenderung
stagnan, bahkan turun,sementara keuanagn daerah sudah meningkat secara
signifikan . kerancuan wewenang awalnya sering dikemukakan sebagai alasan.soal
irigasi , misalnya pemerintah provinsi dan kabupaten / kota seringkali saling
lempar tanggung jawab. Alokasi dana anggaran untuk pemeliharaan irigasi pada
APBD provinsi terus mengalami penurunan selama periode 1999- 2002. Penurunan
anggaran daerah secara neto juga dialami oleh sektor transportasi. Sektor
pendidikan ada penambahan anggaran secara signifikan pada APBD provinsi, namun
alokasinya pada APBDkabupaten.kota malah turun. Hanya pada sektor kesehatan ada
penambahan anggaran baik pd APBD provinsi maupun kabupaten/kota.
Kalangan pengusaha juga merasa
mengahdapi masalah dalam melakukan investasi maupun kegiatan bisnisnya di
berbagai pelosok wilayah Indonesia setelah otonomi daerah digulirkan.
Penelitian LPEM FEUI , ketidakmampuan pemda dlm memberikan pelayanan yg
bersifat mendukung merupakan salah satu kendala utama yg dihadapi para
pengusaha, sekaligus menjadi faktor penting yg mengakbatkan belum kunjung
tumbuhnya kegiatan bisinis dan perekonomian daerah pada umumya. 52% pengusaha
menyatakan kemampuan pemerintah daerah adalah faktor krusial yg harus dibenahi.
Para responden kalangan pelaku bisnis menyatakan bahwa faktor kemampuan
pemerintah daerah( pemberantasan korupsi) dinilai lebih penting daripada
kelimpahan sumber daya alam sebagai modal pembangunan daerah yang bersangkutan.
Kekayaan sumber daya alam takkan membuahkan manfaat berarti jika tidak dikelola
oleh aparat daerah yg andal dan bersih dari korupsi. Maluku , Maluku utara dan
Papua merupakan kawasan dengan jumlah alokasi dana daerah perkapita tertinggi
di Indonesia, namun justru kawasan itulah yg tingkat pertumbuhan ekonomi
daerahnya paling rendah,sedangkan persentase penduduknya yg masih miskin paling
tinggi. Jawa dan Bali yg menerima alokasi dana per kapita paling rendah, masih
membukukan laju pertumbuhan ekonomi daerah yg kedua tertinggi.
Sebagai contoh , Pulau Halmahera di
Maluku Utara menyimpan cadangan nikel dengan nilai triliunan rupiah, namun
mereka bernasib sama setragis saudara” nya di papua, aceh ,dll. Dengan cadangan
nikel yg bila diolah akan menghasilkan dana sekitar US$ 23 miliar, seharusnya
warga sana yang jumlah warganya belum sampai sejuta orang, sudah super
sejahtera menyaingi DKI Jakarta / kutai,
bahkan menyaingi Kuwait / Brunei.
Sungguh sayang, bahkan tragis, kalau
potensi itu hanya tinggal diatas kertas, apalagi kalau lebih banyak dinikmati
oleh pihak asing seperti yang terjadi di Papua dengan PT Freeport. Pegunungan
Grasberg di Papua yang kaya emas dan tembaga kini sudah nyaris habis digali,
bahkan gunung-gunung itu telah lenyap dan digantikan oleh cekungan yang akan
menjadi danau baru ketika hujan tiba. Berton-ton emas dan tembaga diangkut
keluar negeri, triliunan rupiah pajak dan bagi hasil sudah mengalir ke
pemerintah pusat maupun daerah, tetapi lihatlah, masih begitu banyak warga asli
papua yang seolah-olah dibiarkan melanjutkan gaya hidup primitifnya dan serba kekurangan.
Banyak hal yang bisa diajukan sebagai penyebabnya seperti keterbatasan
infrastruktur yang memang merupakan masalah besar di Kawasan Timur Indonesia
(kasus kelaparan selalu dinyatakan karena factor geografis yang menyulitkan
pemda menyalurkan bantuan). Namun dua factor yang tidak bisa dibantah selama
ini paling berperan bagi terus tertundanya peningkatan kemakmuran rakyat
mencapai daerah secara signifikan di era otonomi daerah ini, yakni kelemahan
aparat daerah itu sendiri yang diperburuk hingga berkali-kali lipat oleh
korupsi.
3. Fenomena Desentralisasi Korupsi
Pada bab-bab terdahulu sudah
beberapa kali disinggung bahwa korupsi adalah penyakit utama Indonesia yang
jika dibiarkan akan mengancam martabat kemanusiaan warganya, sekaligus bisa
berpotensi menggoyahkan eksistensi Indonesia. ICW, KPPOD, dan berbagai lembaga
independen pemantau korupsi menyatakan bahwa salahsatu simpu utama korupsi
dewasa ini (dalam era otonomi daerah) adalah otoritas daerah (Pemdadan DPRD).
Kekuasaan dan uang memang selalu menggoda. Dahulu, tingkat korupsi di daerah
lebih kecil daripada pusat, tetapi ini bukan karena aparat daerah lebih jujur
dan berdedikasi, melainkan karena dana yang dikorupsi jauh lebih sedikit. Kini
setelah otonomi daerah menggelontorkan sebagian uang Negara kedompet daerah,
maka tiap daerah berlomba dalam
korupsi. Bisa dikatakan tidak ada daerah
yang benar-benar bebas korupsi.
Tak lama setelah pemberlakuan
otonomi daerah ditahun 2001, mulai tahun 2002 sudah terbongkar rentetan korupsi
di daerah. Kasus Berdasarkan rekapitulasi data seluruh KejaksaanTinggi (Bank
Dunia) hingga September 2006, terdapat 265 kasus korupsi DPRD yang menjadikan
967 orang anggota DPRD sebagai terdakwa. Dalam periode yang sama, telah
dikeluarkan izin pemeriksaan terhadap 327 anggota DPRD Provinsi dan 735 orang
anggota DPRD Kabupaten/Kota. Kasus-kasus yang tidak terungkap diyakini masih
jauh lebih banyak lagi sehingga nilai kerugian Negara ditaksir mencapai
triliunan rupiah.
Otoritas Daerah (Pemdadan DPRD)
sudah merupakan simpul utama korupsi dan godaan bagi pejabat daerah memang
sangat besar, bahkan acap kali lebih besar daripada yang dihadapi para petinggi
BUMN. Mereka pula yang selama ini paling banyak menerima hadiah,
kenang-kenangan atau apa pun namanya yang pada dasarnya merupakan gratifikasi
yang tentunya tidak bebas pamrih.
Memang, patut diduga bahwa
gratifikasi yang telah dikembalikan itu hanya sebagian kecil dari semua yang
benar-benar diterima oleh berbagai pihak. Namun beberapa presentase yang
dikembalikan sulit dipastikan, maka kita punya alasan untuk berasumsi bahwa
semua gratifikasi yang telah ada adalah yang telah dikembalikan itu atau, kalau
pun hanya sebagian, presentase penyerahannya dari setiap institusi penerima
adalah sama (tentunya asumsi ini akan gugur kalau kita punya data akurat
tentang total penerimaan gratifikasi, atau beberapa persendarinya yang
dikembalikan kepada Negara).
Jumlah pengaduan masyarakat
(meskipun belum tentu semuanya benar) selama ini terbukti dapat menjadi
indikator akan sejauh mana tingkat korupsi yang terjadi. Sebagian besar kasus
korupsi yang sudah terungkap bermula dari penyelidikan LSM dan pers.
Beruntunglah daerah –daerah yang memiliki LSM dan media yang aktif dan
bersungguh – sungguh berusaha menyelidiki, mengungkap, dan melaporkan berbagai
dugaan korupsi yang melibatkan aparat daerah. Adalah suatu kenyataan yang
membesarkan hati bahwa ternyata LSM dan
media yang peka terhadap korupsi ternyata sudah cukup menyebar hingga pelosok
Indonesia. Di berbagai daerah terpencil di Indonesia ternyata sebagiann
warganya memiliki kesadaran hukum yang cukup tinggi, mereka menghimpun diri
dalam sejumlah LSM yang khusus menyoroti soal korupsi.
Sayangnya, peran memuaskan justru
tidak atau belum ditunjukan oleh ujung tombak penegak hukum, yakni lembaga
peradilan. Selain proses hukumnya yang rata-rata sangat lama, sebagian kasus
terhenti secara mengecewakan, dan sebagian bahkan di jatuhi vonis yang
membingungkan. Dalam kasus korupsi di Kapuas Hulu di Kalimantan Barat misalnya,
ketika sang bupati di tuduh menggelapkan dana hasil hutan sehingga merugikan
negara hingga Rp 150 miliar, Pengadilan Negeri Putussibau menolak dakwaan jaksa
dengan alasan dakwaannya kabur (entah sengaja dibuat kabur, atau sang hakim
yang kurang lancar baca tulis), dan sampai sekarang kasusnya mengambang begitu
saja tanpa ada lanjutan tindakan hukum.
Pada awal otonomi daerah, pelaku
utama korupsi aadalah para angota DPRD. Para politisi wajah baru di daerah
ternyata bukannya melakukan penyegaran demokrasi dan pemerintahan, namun
ternyata lebih sibuk memanfaatkan kesempatan berkuasa itu untuk memperkaya diri
secepat-cepatnya. Dalam perkembangan selanjutnya, pemda ternyata tidak mau
kalah dengan DPRD, dan hal ini lebih mencemaskan karena pemda-lah yang
menguasai secara riil sumber-sumber daya
keuangan daerah.
Langkah-langkah penanggulangan
bukannya tidak ada, baik di tingkat daerah sendiri maupun oleh pemerintah
pusat, khususnya melalui penyempurnaan aturan yang mengandung banyak celah yang
lantas dimanfaatkan untuk melakukan korupsi. Peningkatan frekuensi korupsi
daerah bisa ditekan agar tidak terlalu berlipat ganda, namun tingkatannya yang
sangat mengkhawatirkan. Sebagian pengamat korupsi seperti ICW berpendapat
turunnya presentase korupsi otoritas daerah itu lebih disebabkanperalihan
kosentrasi aparatpenegak hukum (KPK, kejaksaan) pada kasus-kasus besar yang
menyita banyak liputan media yang kebanyakan terjadi di ibukota negara. Di sisi
lain ICW menduga ada peningkatan “kualittas korupsi” , baik dalam tata caranya
maupun dalam penyusunan “koalisi hitam”nguna mencegahnya terbuka ke mata publik
atau masuk ke pengadilan. Hanya ada satu hal yang pasti di sini, yakni selama
korupsi di daerah initidak di berantas secara tuntas, selama itu pula otonomi
daerah ini tidak di berantas secara tuntas, selama itu pula otonomi daerah tak
akan mampu membuahkan hasil optimal.
4. Politisasi Otonomi Daerah
Pemekaran Daerah yang Berlebihan
Masalah berikutnya yang menghambat
otonomi daerah adalah gejala pemekaran wilayah yang berlebihan. Meskipun alasan
ekonomi dan social selalu dikemukakan paling depan, pada dasarnya pemekaran
wilayah adalah masalah politik. Para elite daerah sengaja memanipulasi semangat
daerah yang acap kali bersifat primordial demi melaksanakan pembentukan wilayah
administrasi baru (kecamatan, kota, kabupaten, hingga provinsi) agar mereka
punya “wilayah kekuasaan” sendiri. Dampak langsung dari pemekaran wilayah
adalah lonjakan beban keuangan Negara. Transfer pusat ke suatu daerah ketika
masih menjadi satu unit administrasi tidaklah sama dengan setelah daerah itu
terpecah menjadi dua unit administrasi. Dalam banyak kasus, transfer pusat itu
bahkan ikut melonjak menjadi dua kali lipat pula. Paling kurang akan ada
penambahan pejabat (pemdadan DPRD), pegawai kantor dan berbagai fasilitasnya,
serta pembentukan instansi vertical seperti kepolisian, koramil/kodim,
kejaksaan, pengadilan, Kanwil Departemen Agama dan Departemen Keuangan, dan
lain-lain.
Semua urusan terkait pemekaran
wilayah menelan biaya, yang celakanya dalam banyak kasus tidak diimbangi oleh
kenaikan memadai pada pelayanan masyarakat oleh daerah-daerah yang
bersangkutan. Bahkan sebenarnya tingkat pertumbuhan ekonomi daerah yang
dimekarkan malahan merosot kalau dibandingkan kondisinya sebelum
dimekarkan.Secara nasional, kian banyak wilayah akan menyulitkan koordinasi.
Kabupaten adalah unit
administratif/daerah otonomi yang paling banyak mengalami pemekaran karena
titik berat otonomi daerah sejak awal memang pada kabupaten dan kota. Awalnya,
kabupaten kota dipilih sebagai focus otonomi daerah karena masih kuatnya
kekhawatiran akan separatisme daerah. Jika focus diberikan pada provinsi, maka
dicemaskan provinsi-provinsi akan kian kuat dan pada akhirnya menuntut
pemisahandiri. Kekhawatiran seperti ini tidak signifikan untuk kabupaten/kota.
Karena sekuat-kuatnya kabupaten tetap saja takkan cukup untuk menuntut berdiri
sendiri dan menjadi sebuah Negara sendiri.
Faktor
utama berikutnya yang menyebabkan pemekaran daerah yang begitu banyak adalh
longgarnya aturan bagi pemekaran wilayah itu sendiri, yakni peraturan
pemerintah No. 129 tahun 2000 tentang persyaratan pembentukan dan kriteria
pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah. Bila kedua PP tersebut nilai
kriterianya telah dipenuhi, maka sebuah daerah bisa membentuk unit administrasi
sendiri. Sedangakan untuk pembentukan provinsi atau kabupaten baru, syaratnya
hanya (1) dukungan seluruh bupati atau wali kota dan DPRD kabupaten / kota yang
akan menjadi wilayahnya, (2) persetujuan gubernur dan DPRD dari provinsi induk,
dan (3) persetujuan Mendagri. Tetapi banyak yang sulit memperoleh persetujuan
dari provinsi atau kabupaten / kota induk. Namun dengan demo, unjuk rasa, dan
seminar jadi-jadian, akan tercipta dukungan massa yang memadai.
Lalu
ada syarat teknis, privinsi baru minimal harus punya lima kabupaten / kota,
sedangkan kabupaten minimal harus punya lima kecamatan dan kota minimal harus
merangkum empat kecamatan. Syarat berikutnya sudah ada desain dan rencana
ibukota baru, berikut dengan prasarana dan sarana pemerintahan dalam taraf
minimal. Ada syarat jumlah penduduk, luas daerah, kapasitas ekonomi, serta
pertahanan dan keamanan.
Kepantasan
sebuah daerah beriri sendiri juga sering kali dikorbankan, selama nilai
kriteria teknis dipenuhi. Elite lokal yang memang sangat ingin agar daerahnya
berdiri sendiri dan mendapat transfer sendiri dari pusat, mau melakukan apa
saja untuk memenuhi kriteria minimal itu tanpa memperhatikan urgensi, nilai
kesejarahan, dan komparasi sewajarnya.
Praktiknya
pantas atau tidak, DPR sudah mengesahkan UU pembentukan kota tangerang selatan
sehingga nanti akan ada wali kota tangerang dan wali kota tangerang selatan.
Padahal surabaya, medan, bandung, semarang, dan makassar yang merupakan lima
kota besar di indonesia yang hanya kalah dengan jakarta dan tentu jauh lebih
besar dalam berbagai aspek ketimbang tangerang, sampai sekarang hanya punya
satu wali kota saja.
Kecenderungan
pemekaran wilayah memang terus mengemuka. Misal sejumlah kabupaten di jawa,
sejumlah tokoh pasundan juga menginginkan wilayah-wilayah sejak zaman belanda
disebut parahyangan, daerah-daerah disekitar jakarta, madura, nias, mentawai,
pemukiman suku-suku besar dayak disumatera, dan nusa tenggara menginginkan
untuk membentuk provonsi sendiri atau sebagai unit adamistrasi sendiri.
Aspirasi
semacam itu takkan ada habisnya karena para elite lokal memang selalu
mengupayakannya atas nama demokrasi dan spirit ekonomi daerah. Di amping itu,
ternyata masyarakat sendiri cenderung menginginkannya karena ada kesan dengan
memiliki wilayah sendiri maka dengan sendirinya mereka akan menjadi lebih maju
dan lebih makmur. Padahal kenyataannya menunjukkan hal yang sebaliknya. Oleh
karena itu, pemerintah pusat harus bersikap tegas mengerem semangat otonomi
yang salah arah, pemerintah harus segera memperketat prosedurnya menjadi lebih
sulit, pemerintah bersama DPR harus mengevaluasi daerah-daerah yang baru dan
kalau perlu menghapuskan atau menggabungkan daerah-daerah itu agar kinerja
pembangunan lebih baik.
Kita
perlu bercermin pada pengalaman desentralisasi di filipina yang pernah
mengalami hal serupa, yakni pemekaran unit administrasi secara besar-besaran
atas nama otonomi. Proses desentralisasi di filipina dirancang serba cepat
sehingga isu pemekaran wilayah tidak
dipersoalkan sehingga dalam beberapa tahun negara yang wilyahnya kurang dari
separuh indonesia ini memiliki hampir 80 provinsi dan sekitar 1.500 kabupaten
yang masing-masing mau serba mandiri namun kebanyakan mempunyai kemampuan
ekonomi kelewat kecil dan wewenang serta perbatasan yang tumpang tindih dan
akhirnya struktur pemerintahan filipina menjadi begitu ruwet dan terlanjur
sulit diatasi.
Ketika
restrukturisasi bsar-besaran dilakukan pada tahun 2003-2004, hasilnya tetap
saja sebuah struktur pemerintahan yang kelewat gemuk dan lamban. Karena
penciutan unit administrasi secara politik sudah sangat sulit dilakukan,
pemerintah filipina kemudian menitikberatkan pemberdayaan administrasi pada
unit-unit kecamatan (barangay) yang
jumlahnya mancapai 41.971 unit. Untuk koordinasi, pemerintah filipina meniru
model spanyol, dibentuk pula 17 daerah otonom untuk menjadi penghubung antara
pemerintah pusat dengan provinsi dan metropolitan otonom. Kenyataan di lapangan
menunujukkan strukutur baru tidak banyak berfungsi dan masalah tata
pemerintahan di filipina terus menjadi masalah dan semua ini akibat dari
pemekaran wilayah yang berlebihan. Kita tentu tidak ingin hal ini menimpa di
indonesia.
Di
sisi lain, evaluasi daerah-daerah baru belum dilaksanakan meskipun instrumen
legalnya sudah ada, yakni PP No. 78/2007 dan PP No. 6/2008 tentang pedoman
evaluasi penyelenggaraan pemerintah daerah. Jika kondisi ekonomi daerah baru
atau kemampuannya ternyata tidak memadai atau jauh berkurang dibanding sebelum
pemekaran, maka opsi penghapusan daerah otonomi yang bersangkutan atau
penggabunganya dengan daerah otonomi lain adalah langkah yanbg harus dilakukan,
walaupun secara politik hal itu tidak
mudah dilakukan.
Departemen keuangan sudah berulang kali8 mengingatkan
kian beratnya beban keungan negara akibat pemekaran wilayah yang berlebihan.
Pemerintah pusat harus menyediakan lebih banyak DAK bidang prasarana
pemerintahan, serta menanggung pula kenaikan biaya penambahan instansi
vertikal.
Pemekaran
wilayah juga menimbulkan kesulitan DAU. Pertama-tama, DAU daerah induk pasti
berkurang karena jumlah penduduk dan luas wilayahnya menyusut. Bagi pemerintah
pusat, bebanya lebih besar karena, selain penambahan biaya pengadaan instansi
vertikal, penurunan DAU di daerah induk biasanya lebih kecil daripada pangadaan
DAU baru untuk daerah otonomi baru. Daerah-daerah otonomi lainya secara
nasional juga kebagian dampak negatifnya, yakni mengurangi porsi DAU yang
seharusnya diterima kalau pemekaran wilayah tidak terjadi (karena DAU adalah
seperempat dana APBN yang dibagi rata untuk semua daerah otonom).
Berdasarkan
Peraga VII-20 tentang perkembangan DAK Bidang Prasarana Pemerintah, Di tahun
2003, pemerintah mengeluarkan DAK sebesar Rp. 88 miliar untuk 22 daerah otonom.
Pada tahun 2004 naik menjadi Rp. 228 miliar untuk 57 daerah otonom. Pada tahun
2005 menurun menjadi Rp. 55 miliar untuk 63 daerah otonom. Pada tahun 2006 naik
kembali menjadi Rp. 448,6 miliar untuk
37 daerah otonom. Paling tinggi pada tahun 2007 dengan Rp. 539 miliar untuk 159
daerah otonom Dan pada tahun 2008 menurun menjadi Rp. 362 miliar untuk 106
daerah otonom.
Berdasarkan
tabel VII-27 tentang Perkembangan Biaya Instansi Vertikal di Daerah-daerah
Otonom Baru yaitu pada tahun 2005, biaya pengadaan instansi vertikal di
berbagai daerah otonom baru yang harus ditanggung pemerintah pusat mencapai Rp.
8,714 triliun. Ditahun 2008 jumlahnya sudah berlipat ganda mencapai Rp. 14
triliun lebih. Satu hal lain yang juga memprihatinkan dari tabel VII-27 ini
adalah akibat lonjakan komponen belanja lainya, komponen belanja sosial justru
sempat dikorbankan dan jumlahnya sangat kecil di tahun 2006 dan 2007 ( baru
pulih di tahun2008 ).
Berdasarkan
tabel VII-28 tentang Perkembangan Penerimaan DAU Kabupaten/kota, pada tahun
2007, dengan total 434 daerah otonomi, rata-rata penerimaan DAU per daerah
otonomi adalah Rp. 341,73 miliar, atau naik hampir 40 miliar dari tahun
sebelumnya. Namun, di tahun 2008 kenaikan DAU dari tahun sebelumnya hanya Rp.
16,49 miliar ( Rp. 358,22 miliar) karena jumlah otonominya sudah bertambah
menjadi 451 unit. Kalau saja jumlah daerah otonomi tidak bertambah, maka tiap
daerah otonomi di tahun 2008 seharusnya menerima Rp. 372,25 miliar, atau naik
Rp. 30,52 miliar dari tahun sebelumnya.
Kementrian
negara percepat pembangunan daerah tertinggal menyatakan bahwa 80 persen daerah
otonomi baru yang terbentuk selama periode 1999-2006 masih termasuk daerah
tertinggal. Sebagian di antaranya malahan kian terpuruk setelah berdiri menjadi
daerah otonomi tersendiri. Dalam hal ini aparat pemerintah daerah belum tuntas
mempersiapkan diri sendiri, apalagi mengurus rakyatnya. Pada tahun 2007 BPK
menyatakan bahwa 83 persen daerah otonomi baru hanya mengandalkan dana pusat
untuk membiayai berbagai belanja tahunannya. Belum ada upaya berarti untuk
menggali PAD sehingga pada akhirnya daerah otonomi sperti ini pun hanya menjadi
beban negara.
Dari
kajian yang telah di lakukan bappenas, kesimpulan utama yang muncul adalah
pemekaran wilayah yang telah berlangsung selama ini secara ekonomis justru
merugikan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah yang
bersangkutan. ( hal 516)
Bagi daerah induk, lepasnya sebagian
wilayahnya yang berdiri sendiri menjadi daerah otonomi baru justru menjadi
berkah karena berkat itu kinerja perekonomiannya menjadi lebih baik
dibandingkan kalau ia tetap mempertahankan wilayah tersebut. Singkatnya, sampai
sejauh ini pemekaran wilayah tidak membuahkan manfaat ekonomis, justru
sebaliknya malahan merugikan. Tujuan
utama yang hendak dicapai oleh pemekaran wilayah tak terwujud. Sampai
disini kta dapat menyimpulkan dengan tegas bahwa pemerintah pusat sudah
waktunya meninjau kembali aturan dan praktik pemekaran wilayah yang jelas-jelas
merugikan itu agar Indonesia tidak usah mengulangi pengalaman buruk yang
diderita Filipina.
D. MANFAAT DAN KEMAJUAN OTONOMI DAERAH
SEJAUH INI
Otonomi daerah memang banyak
dikeluhkan oleh dunia usaha karena dianggap “anti bisnis” dan telah menimbulkan
banyak ekses negatif. Meskipun demikian, banyaknya ekses tentunya tidak
sepatutnya mendorong kita pada kesimpulan bahwa otonomi harus diakhiri dan oleh
karena pendulum harus dikembalikan ke arah sentralisme kekuasaan pemerintah
pusat. Bagaimanapun, secara ideal otonomi dapat berfungsi sebagai jangkar
pengamanan untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan kegiatan pemerintahan
yang efektif bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara keseluruhan. Dengan
segala keterbatasan dan masalahnya, otonomi daerah di Indonesia sesungguhnya
juga telah menunjukkan hasil yang kiranya cukup menggembirakan. Demi memperoleh
pemahaman yang fair dan berimbang, kita perlu menyimak kemajuan dan manfaat
yang selama ini sudah dicapai otonomi daerah.
1. Keberhasilan Proses Transisi
Indonesia patut bersyukur karena
telah berhasil melewati proses transisi otonomi daerah dengan selamat, lancar,
dan bahkan terhitung sangat cepat. Departemen Dalam Negeri terhitung sangat
sigap dalam menyiapkan berbagai materi penunjang. Aturan demi aturan yang
dibutuhkan untuk mendukung keberlangsungan otonomi daerah secara umum mengalir
dengan lancar sehingga program besar ini dapat terus berjalan, bahkan dengan
kecepatan tinggi. Hanya dalam dua tahun (1999-2000) hampir semua perangkat
legal berhasil disiapkan sehingga otonomi daerah dapat dimulai sesuai jadwal,
yakni mulai awal 2001. Pada periode itu sesungguhnya kita telah melakukan
reformasi politik, reformasi ekonomi, dan reformasi mendasar dalam tata
pemerintahan nasional.
Di tingkat pelaksanaan, otonomi
daerah di Indonesia juga sangat cepat. Transfer keuangan benar-benar
dilaksanakan mulai tahun 2001, meskipun
para pengamat umumnya skeptis terhadap instansi yang melaksanakannya. Justru
kemudian yang kesulitan mengatur pemakaian dananya adalah pemerintah daerah
sendiri sehingga terjadi lonjakan kasus korupsi di daerah-daerah. Proses
pengalihan status kepegawaian juga berlangsug kilat. Semua pegawai kantor
wilayah berbagai departemen yang bidang tugasnya menjadi wewenang daerah
dialihkan ke berbagai pemda. Juga segenap aset, perlengkapan dan dokumen
berbagai instansi vertikal yang ada di daerah.
Badan Kepegawaian Negara di bawah
Prof. Prijono Tjiptoherijanto berhasil melakukan proses pengalihan secara
spartan dan maraton sejak tahuh 1999. Dari total PNS sekitar 3,9 juta orang,
sekitar 2,6 juta diantaranya dialihkan statusnya menjadi PNS daerah sehingga
PNS daerah menjadi sekitar 3,3 juta orang. Namun ini bukan tanpa tantangan.
Menjelang pelaksanaan otonomi daerah, hanya dua provinsi yang menyatakan bersedia
menerima limpahan PNS pusat. Di tingkat kabupaten dan kota, dua pertiganya juga
menolak. Beruntung pemerintah pusat bertindak tegas sehingga rencana tersebut
berjalan lancar dan tanpa gejolak berarti.
2. Tanda-tanda Pemerataan
Pembangunan
Sebelumnya telah disebutkan bahwa
salah satu masalah utamaotonomi daerah adalah kian tajamnya kesenjangan antara
daerah-daerah itu sendiri. Namun sesungguhnya daerah-daerah yang tadinya hanya
menjadi penonton kini mulai aktif, bahkan mulai menjadi pemain utama. Hal ini
dibuktikan dari data-data yang menunjukkan secara umum penjualan semen ke luar
pulau jawa relatif stabil dibandingkan penjualan ke jawa yang naik-turun. Ini
menunjukkan implikasi penting mengingat semen adalah bahan baku utama
kontruksi, maka semakin tinggi pengalihan semen, semakin dinamis pula
pembangunannya.
PERKEMBANGAN SEKILAS INFRASTRUKTUR
DAERAH PASCA-OTONOMI DAERAH
Peningkatan presentase jalan
beraspal di jalan pelosok pedesaan pda periode 1999-2002 juga terjadi di
Kalimantan (dari 30,6 menjadi 32,4), Sulawesi (54,31 menjadi 59,58 persen), dan
sedikit di Maluku, papua dan nusa tenggara (dari 41,21 menjadi 41,3 persen).
Penurunan infrastruktur listrik
(presentase rumah tangga pelanggan PLN) juga terjadi di jawa dan bali selama
periode 1999-2002 (78,98 menjadi 77,73 persen). Peningkatan paling segnifikan
terjdi di Sulawesi (48,93 ke 53,41 persen), di susul Kalimantan (52,08 ke 56,57
persen), lalu Sulawesi (49,98 menjadi 51,71 persen).
PRESENTASE PENETRASI
(GSM) SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI SELULER PENDUDUK
Setelah para opertoe GSM
mengembngkan sayap dan membangun pemancar di bagian pelosok wilayah,
daerah-daerah di luar jawa segera menyalip daerah-daerah di jawa. Tingkat
petrasi tertinggi ternyata di daerah Kalimantan dengan 61 persen, di susul
Sumatra dengan tingkst penetrasi 50 persen, baru di susul oleh jawa bali 45
persen.
Namun kalau dingat apa saja produk
ekspor Indonesia, maka kita bisa menduga ketimpngan data ekspor dan impor itu
semata-mata karena lokasi pelaksanaan ekspor dan impornya saja. Sayangnya
pemerintah sampe saat ini masih memusatkan kegiatan ekspor dan impor di
pelabuhan utama saja. Namuan tentunya akan lebih tepat tentunya kalau
solusianya bukan sekedar membatasi pelabuahan pedagangan aparat.
TANDA-TANDA PEMERTAAN
KEPEMILIKAN DANA DAN INVESTASI
Potensi pembangunan daerah juga di
tupang oleh lebih meratanya kepemilikan dan peredaran uang di seluruh
Indonesia, meskipun tingkat perubhannya belum sebanyak yang seharusnya. Perage
VII-26 menunjukkan di tahun 199, 86,6 persen dari seluruh simpanan (deposito)
milik masyarakat Indonesia di pulau jawa. Sumatra hanya mencatat 7,3 persen,
dan paling menyidahkan seluruh Indonesia timur hanya memiliki 6,2 persen.
Perage VII-27 memperlihatkan bahwa
kucuran kredit ke Sumatra dan Kalimantan timur Indonesia selama periode
1999-2007 masing-masing naik lebih dari dua kali lipat. Namun lprovinsi lain di
jawa (jawa tengah, jawa timur, dan DI Yogyakarta) mengalami kenaikan kredit
yang paling kecil, dan kalua dari peningkatan kredit di Sumatra maupun kawasa
timur Indonesia. Proporsi ini sudah jauh berkurang di bangdingkan dari yang ada
di tahun 1997, sebelum era otomom daerah, ketika seluruh provinsi di pulau jawa
menguasai 86,6 persen dari total kredit perbankan nasional.
Proporsi simpanan masyarakat di perbankan
di pulau jawa terus menurun,sementara di luar pulau jawa terus meningkat.
Dampak ekonomi kegiatan UKM memang biasanya lebih kecil di bandingkan dengan
usha yang lebih besar. Karena itu pula, keberadaan UKM bisa dibuat tolak ukur
sejauh mana distribusi kegiatan usaha di suatu wilayah.
Kesimpulan penting yang dapat
diambil di sini adalah semakin besar proporsi kredit untuk daerah-daerah, akan
semakin besar kredit yang di terima oleh UKM. Kalau pemerintah serius hendak
meningkatkan peran UKM, maka salah satu langkah yang di upanyakan adalah
peningkatan proporsi kredit untuk berbagai daerah atau provinsi yang selama ini
membukukan presentase kredit untuk UKM yang sangat tinggi seperti NAD,
Bengkulu, DI Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Namun perkembangan yang berlangsung selama ini menunjukan bahwa secara
beringsut keseimbangan antara jawa dan luar jawa terus membaik, dan hal ini
turut menambah bukti bahwa pemerataan ekonomi sudah meningkat selama
berlangsungnya era otonomi daerah, sekaligus juga menunjukkan bahwa potensi
manfaat yang harus digali dan diupanyakan.
PENINGKATAN PELAYANAN
MASYARAKAT
Di bagian pembahasan sebelumnya
dalam bab ini telah dinyatakan bahwa masih banyak anggota masyarakat yang belum
turut menikmati masyarakat otonomi daerah. Namun kalau perbandingan adalah
antara apa yamg diperoleh setelah otonomi daerah dan apa yang diperoleh sebelum
otonomi daerah, maka maka pertanyaan yang muncul bahwasannya telah terjadi
peningkatan pelanyanan (oleh parat daerah) kepada masyarakat. Peraga VII-28
memperlihatkan bahwa pada periode 2005-2006 telah terjadi peningkatan kepuasan
para warga masyarakat pada umumnya akan pelayanan pemerintah daerah. Demikian
pula dengan hasil penelitian tentang masyarakat tentang kualitas kantor bupati
(peraga VII-29). Meskipun masih banyak yang harus di benahi lagi, sudah mulai
ada tanda bahwa pihak daerah mulai berusaha meningkatakan pelayanan pada
masyarakat, yang merupakan inti tujuan dari keseluruhan proses besar otonomi
daerah itu sendiri.
Komentar
Posting Komentar
Comment