Komunikasi: Aplikasi Filsafat dalam Ilmu Komunikasi
APLIKASI FILSAFAT DALAM ILMU
KOMUNIKASI
Media massa telah menjadi fenomena tersendiri dalam proses komunikasi massa
dewasa ini bahkan ketergantungan manusia pada media massa sudah sedemikian
besar. Media komunikasi massa abad ini yang tengah digandrungi masyarakat
adalah televisi. Joseph Straubhaar
& Robert La Rose dalam bukunya Media Now, menyatakan; the Avarege Person spend 2600 Hours per years watcing TV or listening to radio.
That,s 325 eight-hourdays, a full time job. We spend another 900 hours with
other media, including, newpaper, books, magazines, music, film, home video,
video games and the internet, that about hours of media use – more time than we
spend on anything else, including working or sleeping (straubhaar & La
Rose, 2004 : 3)
Di Indonesia berdasarkan survey Ac Nielsen di tahun 1999 bahwa
61% sampai 91% masyarakat Indonesia suka menonton televisi, hasil ini lebih
lanjut dijelaskan bahwa “hampir 8 dari 10 orang dewasa di kota-kota besar
menonton televisi setiap hari dari 4 dari 10 orang mendengarkan radio” ( Media
Indonesia, 16- Nopember 1999). Hal ini menunjukkan bahwa menonton televisi
merupakan “aktivitas” utama masyarakat yang seakan tak bisa ditinggalkan. Realitas ini sebuah bukti bahwa televisi
mempunyai kekuatan menghipnotis pemirsa, sehingga seolah-olah televisi telah
mengalienasi seseorang dalam agenda settingnya.
Perkembangan pertelevisian di Indonesia dua tahun terakhir ini memang amat
menarik, televisi-televisi swasta bermunculan melengkapi dan memperkaya TV yang
sudah ada. Tercatat lebih dari 17 TV yang ada di Indonesia adalah TVRI, RCTI,
SCTV, TPI, AN-TV, Indosiar, Trans-TV, Lativi, TV-7, TV Global, dan Metro TV
ditambah TV-TV lokal seperti Bandung TV, STV, Padjadjaran TV dan sebagainya.
Fenomena ini tentu saja menggembirakan karena idealnya masyarakat Indonesia
memiliki banyak alternatif dalam memilih suguhan acara televisi.
Namun realitasnya, yang terjadi adalah stasiun-stasiun TV di Indonesia
terjebak pada selera pasar karena tema acara yang disajikan hampir semua
saluran TV tidak lagi beragam tetapi seragam di mana informasi yang sampai
kepada publik hanya itu-itu saja tidak menyediakan banyak alternatif pilihan.
Beberapa format acara TV yang sukses di
satu stasiun TV acapkali diikuti oleh TV-TV lainnya, hal ini terjadi hampir
pada seluruh format acara TV baik itu berita kriminal dan bedah kasus, tayangan
misteri, dangdut, film india, telenovela,
serial drama Asia, Infotainment, dan
lain-lain.
_______________
*) Dosen
pada Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
Media watch mencatat bahwa selama ini atas nama mekanisme pasar, pilihan
format isi pertelevisian tak pernah lepas dari pertimbangan ”tuntunan khalayak”
menurut perspektif pengelola. Berbagai
program acara dibuat hanya untuk melayani kelompok budaya mayoritas yang
potensial menguntungkan, sementara kelompok minoritas tersisihkan dari dunia simbolik
televisi.
Ukuran televisi hanya dilihat berdasarkan rating tidak memperhatikan faktor
fungsional, akibatnya ada kelompok masyarakat yang dapat menikmati berbagai
stasiun TV karena berada di wilayah yang berpotensi, tapi ada masyarakat yang
tak terlayani sama sekali atau menangkap acara televisi namun isinya secara
kultural tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.
Keadaan ini sebelumnya terjadi juga pada negara adi kuasa seperti Amerika
Serikat penelitian di negara ini menunjukkan bahwa surat kabar dan televisi
mengarahkan sasaran liputan mereka terutama pada kelompok elite dan tak
memperdulikan sebagian besar warga (Kovach, 2003:66) dalam pemenuhan fungsi
informasi dan hiburan belakangan ini, TV-TV gencar menayangkan berita-berita
yang disebut dengan infotainment.
Kehadiran infotainment amat mewarnai
program-program acara di televisi bahkan menempati posisi rating tertinggi yang
berarti acara-acara model seperti ini amat digemari oleh masyarakat. Pengiklan pun
tak urung berbondong—bondong memasang iklan pada setiap tayangannya tentu saja
semakin mamacu pengelola media untuk berloma-lomba membuat heboh acara infotainment yang dikemasnya.
Dipelopori oleh tayangan kabar-kabari lima tahun silam di RCTI, saat ini
tidak kurang dari 50 judul acara serupa muncul menyebar di semua stasiun TV
termasuk TVRI bahkan Metro TV. Semua format yang tampil mengatasnamakan infotainment sebagai penggabungan dari
kata ”Information’ dan Entertainment’ (Informasi dan Hiburan)
wujudnya merupakan paket tayangan informasi yang dikemas dalam bentuk hiburan
& informasi yang menghibur.
Jika kita cermati tampaknya tayangan-tayangan infotainment yang mengklaim sebagai sebuah produk jurnalisme
seringkali berorientasi bukan pada efek yang
timbul dalam masyarakat tetapi produk komersial tersebut apakah mampu
terjual dan mempunyai nilai ekonomis atau tidak, sehingga tidak memperhatikan
apa manfaatnya bagi pemirsa ketika menginformasikan adegan ”syur” Mayangsari –
Bambang Soeharto, exploitasi kawin
cerai para selebritis, konflik, gaya
hidup, serta kebohongan publik yang kerap digembar-gemborkan oleh kalangan
selebritis.
Fenomena ini menandakan satu permasalahan di dalam kehidupan nilai-nilai
”filosofis” televisi di Indonesia. Televisi Indonesia semakin hari semakin
memperlihatkan kecenderungan mencampuradukan berita dan hiburan melalui format
tayangan ”infotainment”. Kebergunaan
berita menjadi berkurang bahkan menyimpang. Hal ini disebabkan di antaranya
oleh tekanan pasar yang makin meningkat.
1. Kerangka Teoritis
Louis
O. Katsoff dalam bukunya ”Elements of Philosophy” menyatakan bahwa kegiatan filsafat merupakan perenungan,
yaitu suatu jenis pemikiran yang meliputi kegiatan meragukan segala sesuatu,
mengajukan pertanyaan, menghubungkan gagasan yang satu dengan gagasan yang
lainnya, menanyakan ”mengapa”’ mencari jawaban yang lebih baik ketimbang
jawaban pada pandangan mata. Filsafat sebagai perenungan mengusahakan kejelasan,
keutuhan, dan keadaan memadainya pengetahuan agar dapat diperoleh pemahaman.
Tujuan filsafat adalah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin,
mengajukan kritik dan menilai pengetahuan ini. Menemukan hakekatnya, dan
menerbitkan serta mengatur semuanya itu dalam bentuk yang sistematik. Filsafat
membawa kita kepada pemahaman & pemahaman membawa kita kepada tindakan yang
lebih layak. Tiga bidang kajian filsafat ilmu adalah epistemologis, ontologis, dan oksiologis.
Ketiga bidang filsafat ini merupakan pilar utama bangunan filsafat.
Epistemologi: merupakan cabang filsafat yang
menyelidiki asal, sifat, metode, dan batasan pengetahuan manusia yang
bersangkutan dengan kriteria bagi penilaian terhadap kebenaran dan kepalsuan. Epistemologi pada dasarnya adalah cara bagaimana
pengetahuan disusun dari bahan yang diperoleh
dalam prosesnya menggunakan metode ilmiah. Medode adalah tata cara dari
suatu kegiatan berdasarkan perencanaan yang matang & mapan, sistematis
& logis.
Ontologi: adalah cabang filsafat mengenai sifat
(wujud) atau lebih sempit lagi sifat fenomena yang ingin kita ketahui. Dalam
ilmu pengetahuan sosial ontologi
terutama berkaitan dengan sifat interaksi sosial. Menurut Stephen Litle John, ontologi adalah mengerjakan terjadinya pengetahuan dari sebuah gagasan
kita tentang realitas. Bagi ilmu sosial ontologi
memiliki keluasan eksistensi kemanusiaan.
Aksiologis: adalah cabang filsafat yang berkaitan
dengan nilai seperti etika, estetika, atau agama. Litle John menyebutkan bahwa aksiologis, merupakan bidang kajian
filosofis yang membahas value
(nilai-nilai) Litle John
mengistilahkan kajian menelusuri tiga asumsi dasar teori ini adalah dengan nama
metatori. Metatori adalah bahan spesifik pelbagai teori seperti tentang apa
yang diobservasi, bagaimana observasi dilakukan dan apa bentuk teorinya.
”Metatori adalah teori tentang teori” pelbagai kajian metatori yang berkembang
sejak 1970 –an mengajukan berbagai metode dan teori, berdasarkan perkembangan
paradigma sosial. Membahas hal-hal seperti bagaimana sebuah knowledge itu (epistemologi) berkembang. Sampai sejauh manakah eksistensinya (ontologi) perkembangannya dan
bagaimanakah kegunaan nilai-nilainya (aksiologis) bagi kehidupan sosial.
Pembahasan ; Berita infotainment dalam
kajian filosofis. Kajian ini akan meneropong lingkup persoalan di dalam
disiplin jurnalisme, sebagai sebuah bahasan dari keilmuan komunikasi, yang
telah mengalami degradasi bias tertentu dari sisi epistemologis, ontologis bahkan aksiologisnya terutama dalam
penyajian berita infotainment di
televisi.
2. Kajian Aspek Epistemologis:
Dalam berita hal terpenting adalah fakta. Pada
titik yang paling inti dalam setiap pesannya pelaporan jurnalisme mesti membawa
muatan fakta. Setiap kepingan informasi mengimplikasikan realitas peristiwa
kemasyatakatan. Tiap pesan menjadi netral dari kemungkinan buruk penafsiran
subyektif yang tak berkaitan dengan kepentingan–kepentingan kebutuhan
masyarakat. Charnley (1965 : 22.30) mengungkapkan kunci standardisasi bahasa
penulisan yang memakai pendekatan ketepatan pelaporan faktualisasi peristiwa,
yaitu akurat, seimbang, obyektif, jelas dan singkat serta mengandung
waktu kekinian. Hal-hal ini merupakan tolok ukur dari ”The Quality of News” dan menjadi pedoman yang mengondisikan kerja
wartawan di dalam mendekati peristiwa berita & membantu upaya tatkala
mengumpulkan & mereportase berita. Secara epistemologis cara-cara
memperoleh fakta ilmiah yang menjadi landasan filosofis sebuah berita infotainment
yang akan ditampilkan berdasarkan perencanaan yang matang, mapan, sistematis
& logis.
3. Kajian Aspek Ontologis
Dalam kajian berita infotainment ini bahasan secara ontologis
tertuju pada keberadaan berita infotainment
dalam ruang publik. Fenomena tentang berita infotainment
bukan gejala baru di dunia jurnalisme. Pada abad 19, pernah berkembang
jurnalisme yang berusaha mendapatkan audiensnya
dengan mengandalkan berita kriminalitas yang sensasional, skandal seks, hal-hal,
yang menegangkan dan pemujaan kaum selebritis ditandai dengan reputasi James Callender
lewat pembeberan petualangan seks, para pendiri Amerika Serikat, Alexande Hamilton
& Thomas Jeferson merupakan karya elaborasi antara fakta dan desus-desus.
Tahun itu pula merupakan masa kejayaan William Rudolf Hearst dan Joseph
Pulitzer yang dianggap sebagai dewa-dewa ”Jurnalisme kuning.”
Fenomena jurnalisme infotainment kembali mencuat ketika terjadi berita hebohnya
perselingkuhan Presiden Amerika ”Bill Clinton- Lewinsky”. Sejak saat itu seakan
telah menjadi karakteristik pada banyak jaringan TV di dunia. Di Indonesia,
fenomena ini juga bukan terbilang baru. Sejak zaman Harmoko (Menteri Penerangan pada saat itu)
banyak surat kabar–surat kabar kuning muncul & diwarnai dengan antusias
masyarakat. Bahkan ketika Arswendo Atmowiloto menerbitkan Monitor semakin
membuat semarak ”Jurnalisme kuning di Indonesia”. Pasca Orde Baru ketika
kebebasan pers dibuka lebar-lebar semakin banyak media baru bermunculan, ada yang
memiliki kualitas tetapi ada juga yang mengabaikan kualitas dengan mengandalkan
sensasional, gosip, skandal dan lain-lain. Ketika tayangan Cek & Ricek dan
Kabar Kabari berhasil di RCTI, TV lainnya juga ikut-ikut menayangkan acara gosip.
Dari sinilah cikal bakal infotainment
marak di TV kita. Fenomena infotainment
merupakan hal yang tidak bisa terhindarkan dari dunia jurnalisme kita. Pada
realitasnya ini banyak disukai oleh masyarakat dengan bukti rating tinggi (public share tinggi)
4. Kajian pada aspek aksiologis
Secara aksiologis kegunaan berita infotainment dititik beratkan kepada
hiburan. Pengelola acara ini menarik audiens hanya dengan menyajikan tontonan
yang enak dilihat sebagai sebuah strategi bisnis jurnalisme. Hal ini akan
berdampak pada menundanya selera dan harapan sejumlah orang terhadap sesuatu
yang lain. Ketika etika infotainment
telah salah langkah mencoba untuk ”menyaingkan” antara berita & hiburan.
Padahal nilai dan daya pikat berita itu berbeda, infotainment pada gilirannya akan membentuk audiens yang dangkal karena terbangun atas bentuk bukan substansi.
Pengelola media melalui berita infotainment terkadang tidak lagi
mempertimbangkan moral sebagai pengontrol langkah mereka sehingga begitu mengabaikan
kepentingan masyarakat.Hal itulah yang terjadi dengan berita infotainment di Indonesia, beberapa
kaidah yang semestinya dijalankan malah diabaikan demi kepentingan mengejar
rating dan meraup keuntungan dari pemasang iklan.
DAFTAR PUSTAKA
Andersen.,
Kenneth E., 1972, Introduction to
Communication Theory and Practice ,
Philippines : Cumming
Publ Company.
Anshari., Endang Saefuddin, 1991. Ilmu Filsafat dan Agama, PT. Bina Ilmu, Surabaya .
Asante.,
Molefi Kete, 1989, Handbook of
International and Intercultural Communication, California : sage Publ Inc.
Bagus., Lorens, 1991, Metafisika,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Berger.,
Charles R., 1987, Handbook of Communication
Science, California :
Sage publ Inc.
Cobley., Paul, 1996, The Communication Theory Reader, London : Routledge.
DeFleur.,
Melvin L., 1985, Understanding Mass
Communication, Boston :
Houghton Mifflin Company.
Effendy., Onong Uchjana, 2000, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Fisher.,
B. Aubrey, 1987, Interpersonal
Communication: Pragmatics of Human Relation 2 nd ed., McGraw-Hill
Little
John., Stephen W., 1996, Theories of
Human Communication, Ohio :
Charles E. Merril Company
Muhadjir., Noeng, 1998, Filsafat Ilmu Telaah Sistematis Fungsional
Komparatif, Rake Sarasin, Yogyakarta
Mulyana., Deddy, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma
Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, PT. Rosdakarya, Bandung
Mulyana., Deddy, 2001, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, PT. Rosdakarya, Bandung
Poerwadarminta., W.J.S, 1985, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta
Susanto., Astrid S, 1976, Filsafat Komunikasi, Penerbit Binacipta, Bandung.
Suriasumantri, Jujun S, 1985, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta
Syam., Nina Winangsih, Rekonstruksi Ilmu
Komunikasi Perspektif Pohon Komunikasi dan Pergeseran Paradigma Komunikasi
Pembangunan Dalam Era Globalisasi. Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Ilmu
Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran pada tanggal 11
September 2002
Komentar
Posting Komentar
Comment